Senin 06 Nov 2017 18:43 WIB

Refli Harun Nilai Novanto Lakukan Blunder, Mengapa?

Rep: Fauziah Mursid/ Red: Andi Nur Aminah
Refly Harun
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Refly Harun

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat hukum tata negara Refli Harun menilai Setya Novanto melakukan hal blunder dengan alasan mangkir dari pemanggilan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai saksi dalam penyidikan kasus dugaan korupsi proyek KTP berbasis elektronik (KTP-el) pada Senin (6/11). Novanto dinilai mangkir kali ini, karena dia beralasan akan bersedia hadiri pemanggilan jika sudah ada izin tertulis dari presiden.

Menurut Refli, KPK tidak memerlukan izin presiden untuk memanggil Setya Novanto. Hal ini karena putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait uji materi Undang-undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) soal perlunya izin presiden jika ingin memeriksa atau memanggil anggota DPR, tidak berlaku untuk tindak pidana khusus, termasuk korupsi.

"Sangat blunder, stafnya tidak membaca secara cermat. Tidak tepat kalau Ketua DPR berlindung di pasal 245 UU MD3, karena baik sebelum atau setelah JR, ketententuan izin tidak berlaku untuk tindak pidana khusus. Korupsi masuk tindak pidana khusus yang dilabeli ekstra ordinary crime," ujar Refli di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta pada Senin (5/11).

Karena itu menurut Refli, tidak ada alasan bagi Ketua DPR untuk mangkir dari pmeriksaan KPK. Terlebih KPK dalam menjalankan tugasnya berbekal dengan Undang-undang khusus yang selama ini dipakai KPK. Sehingga sudah kewenangan KPK untuk memanggil pejabat publik tanpa harus melalui birokrasi perizinan termasuk presiden.

Terlepas dari hal tersebut, Refli menilai sudah sepatutnya Ketua DPR menunjukkan sikap hormat terhadap proses penegakan hukum. "Kalau mangkir kan melanggar kewjibannya. Tapi yang paling elegan bagi ketua DPR adalah penuhi panggilan, kalau pun tidak berlaku maka kewajiban paling utama adalah bantu penegakan hukum, jadi datang dan berikan keterangan adalah sikap gentle dan beri contoh baik," ungkapnya.

Novanto diketahtui tidak memenuhi panggilan pemeriksaan sebagai saksi di KPK pada Senin hari ini. Namun, DPR melalui surat yang dikirim ke KPK yang ditandatangani Pelaksana Tugas (Plt) Sekretaris Jenderal DPR Damayanti menyatakan pemanggilan Novanto harus mendapatkan izin tertulis dari presiden.

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 76/PUU-XII/2014 atas uji materi pasal di Undang-undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) pada 2015 memutuskan bahwa penegak hukum diharuskan mendapat izin dari presiden untuk memanggil anggota DPR pada pasal 245 ayat 1. Namun di pasal 245 ayat 3 putusan MK yang hingga saat ini belum diubah, berbunyi ketentuan bahwa izin presiden tidak berlaku apabila anggota DPR karena beberapa hal.

Antara lain tertangkap tangan melakukan tindak pidana, disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup. Atau juga tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan dan keamanan negara berdasarkan bukti permulaan yang cukup, serta disangka melakukan tindak pidana khusus.

Sementara pemanggilan oleh KPK terhadap Novanto dalam kasus KTP-el masuk kategori tindak pidana khusus. Sehingga tidak perlu izin presiden.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement