Jumat 20 Oct 2017 02:18 WIB

Suropati Syndicate: Reklamasi Hilangkan Hak Publik

Nelayan kerang melintasi kawasan perairan di Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta Rabu (11/10). Jumlah nelayan kerang di teluk Jakarta terus berkurang seiring semakin jauhnya jarak tempuh untuk mencari kerang di lautan. Kondisi diperparah dengan reklamasi teluk jakarta yang juga menggusur tambak kerang mereka di laut.
Foto: Yogi Ardhi/Republika
Nelayan kerang melintasi kawasan perairan di Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta Rabu (11/10). Jumlah nelayan kerang di teluk Jakarta terus berkurang seiring semakin jauhnya jarak tempuh untuk mencari kerang di lautan. Kondisi diperparah dengan reklamasi teluk jakarta yang juga menggusur tambak kerang mereka di laut.

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Dilantiknya Anies-Sandi sebagai gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta, memicu polemik baru terkait pencabutan moratorium reklamasi di Pantai Utara Jakarta. Pasalnya, pidato perdana Anies di Balai Kota pada malam setelah pelantikan, secara eksplisit menegaskan sikap dan keberpihakan Pemprov DKI terhadap pengelolaan tanah, air, teluk, dan pulau-pulau di DKI.

“Selama ini perdebatan terkait reklamasi masih berkutat di wilayah yang normatif prosedural, yang kesannya mengabaikan aspek substansial bahwa pembangunan tersebut diperuntukkan kepada siapa. Menurut saya hal ini menjadi penting mengingat urgensi pembangunan seyogyanya dilandasi oleh semangat keadilan untuk menciptakan pemerataan kemanfaatan yang seluas-luasnya bagi warga DKI,” kata peneliti Kajian Lingkungan dan Pembangunan Berkelanjutan Suropati Syndicate, Ilham Akbar Mustafa, dalam siaran persnya kepada Republika.co,id, Kamis (19/10).

Ilham mengatakan, privatisasi pembangunan justru akan menghilangkan hak-hak publik untuk mengakses manfaat dari pembangunan tersebut. Terlebih ketika pembangunan tersebut mengubah fungsi common property menjadi private property. “Pesisir pantai dan laut itu kan common property, ia milik bersama yang bisa diakses oleh siapa saja. Problemnya adalah ketika ia direklamasi dan diubah fungsi peruntukannya menjadi areal privat yang dikomersialisasi, di situ ada hak-hak publik yang menjadi terbatas bahkan hilang sebab publik mesti mengeluarkan cost tertentu untuk mengaksesnya,” ujar Ilham yang akrab disapa IAM.

Jika ditelisik lebih jauh, menurut IAM, ekses pembangunan reklamasi ini berdampak lanjut pada perubahan struktur sosial masyarakat yang dahulunya menjadikan areal pantai sebagai sumber penghidupan. 

“Reklamasi mesti memperhatikan aspek sustainabilty development dengan melihat indikator economic profitable, sustainability ecologic, dan social accessibilty yang setara dan proporsional. Di sini problemnya kalau pengelolaannya diprivatisasi yang hitungannya murni profit oriented. Padahal proyek reklamasi juga turut mengubah struktur sosial dan bentang ekologi di teluk Jakarta, kami khawatir mayoritas warga justru teralienasi dari pembangunan ini," kata IAM yang juga wasekjen PB HMI ini memaparkan.

Karena itu IAM menegaskan, Pemerintah Provinsi DKI dengan kewenangan besar yang diatur oleh Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, tidak perlu melanjutkan proyek reklamasi tersebut apabila tidak ada kepastian yang tegas terkait peruntukannya bagi warga DKI.

“Menurut kami, jika sepanjang pertanyaan krusial terkait peruntukan reklamasi itu untuk siapa tidak bisa dijawab, maka proyek reklamasi ini tidak perlu dilanjutkan. Kita perlu kembali kepada alasan kehadiran negara beserta segala infrastruktur pemerintahannya, yakni keadilan dan pemerataan akses dan manfaat bagi seluas-luasnya rakyat,” pungkas IAM.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement