Rabu 27 Sep 2017 18:57 WIB

72 Tahun Merdeka, Masalah Utama Bangsa Masih Kemiskinan

Tokoh bangsa A Syafii Maarif bersama mantan menteri perindustrian Saleh Husin usai berbicara pada Forum Dialog di Jakarta, Rabu (27/9).
Foto: Sinar Mas
Tokoh bangsa A Syafii Maarif bersama mantan menteri perindustrian Saleh Husin usai berbicara pada Forum Dialog di Jakarta, Rabu (27/9).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pekerjaan rumah bangsa Indonesia paling penting yang harus segera diselesaikan adalah mempersempit kesenjangan dan mengurangi ketimpangan. Masalah pemerataan ekonomi, ungkap mantan ketua PP Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif, harus menjadi prioritas, bukan hanya bagi pemerintah tapi juga swasta.

Apalagi, pada saat yang sama, negara tak cuma menghadapi berbagai masalah ekonomi, tetapi juga masalah sosial, politik, dan keagamaan seperti radikalisme serta terorisme. “Bung Karno pernah menyatakan tidak akan ada kemiskinan di dalam Indonesia merdeka. Tapi, setelah 72 tahun, kemiskinan masih menjadi masalah utama bangsa ini,” kata Syafii di Jakarta, Rabu (27/9).

Syafii, yang juga anggota Dewan Pengarah Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP Pancasila) ini, mengatakan bagi sebagian besar masyarakat Indonesia uang tampak begitu liar. Tapi bagi sejumlah sektor swasta seperti Sinar Mas, uang terlihat begitu jinak. Kemampuan menjinakkan uang inilah yang harus ditularkan kepada masyarakat luas.

Syafii yang akrab dipanggil Buya ini menyampaikan pemikirannya ini pada Forum Dialog yang diselenggarakan President Office Sinar Mas bertema Ekonomi Berbasis Kerakyatan: Merekat Perbedaan, Memperkuat Persatuan, hari ini di Jakarta.  Selain Syafii, bos Garuda Food Sudhamek AWS juga tampil sebagai pembicara.

Pembicara lain mantan Gubernur Bank Indonesia Burhanuddin Abdullah dan mantan KSAL Laksamana (Purn) Marsetio. Mantan Menteri Perindustrian yang kini menjabat sebagai Managing Director Presiden Office Sinar Mas, Saleh Husin, juga ikut dalam diskusi.

Menurut Buya Syafii, bangsa Indonesia sesungguhnya sudah memiliki modal yang sangat bernilai, yakni Pancasila, karena setiap sila di dalamnya bisa menjawab setiap masalah secara menyeluruh dari berbagai dimensi. Dalam pemerataan kesejahteraan, misalnya, upaya menjawabnya tidak saja dari sisi ekonomi, tapi juga aspek sosial hingga hati nurani.

Begitu pula dengan ancaman intoleransi dan radikalisme, tidak cukup hanya ditangani dengan penegakan hukum semata, tapi mesti melibatkan pula aspek sosial, ekonomi, pendidikan dan sebagainya. “Agar tidak muncul paham berani mati karena takut hidup. Itu teologi maut namanya,’' tegas Buya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement