Senin 18 Sep 2017 06:32 WIB

15 Kali OTT pada 2017, Ini Saran Pencegahan Korupsi dari KPK

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Andri Saubani
Penyidik KPK menunjukkan barang bukti terkait penangkapan Operasi Tangkap Tangan (OTT) Walikota Batu disaksikan Wakil Ketua KPK Laode M Syarif (kanan) saat konferensi pers di Gedung KPK, Jakarta, Ahad (17/9).
Foto: Republika/ Yasin Habibi
Penyidik KPK menunjukkan barang bukti terkait penangkapan Operasi Tangkap Tangan (OTT) Walikota Batu disaksikan Wakil Ketua KPK Laode M Syarif (kanan) saat konferensi pers di Gedung KPK, Jakarta, Ahad (17/9).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap kepala daerah. Pada Sabtu (16/9) tim satgas KPK mendapati Wali Kota Batu Eddy Rumpoko menerima suap terkait proyek pengadaan meubelair di Pemerintah Kota (Pemkot) Batu tahun anggaran 2017. Eddy tertangkap tangan menerima uang sebesar Rp 200 juta di rumah dinasnya.

Eddy dijanjikan fee oleh Filipus Djap (FHL) sebanyak Rp 500 juta dari total proyek pengadaan barang dan jasa sebesar Rp 5,26 miliar. Diketahui, untuk jumlah fee Rp 300 juta. Filipus sebelumnya juga sudah melunasi pembayaran mobil Alphard milik politikus dari PDIP tersebut. Sehingga fee yang didapatkan oleh Eddy Rumpoko memang sebesar 10 persen dari jumlah proyek yang bergulir.

Bisa dibilang beberapa bulan terakhir ini KPK gencar melakukan OTT terhadal kepala daerah. Bahkan selama tahun 2017 ini, KPK sudah melakukan lima kali OTT terhadap kepala daerah. Sebagian besar kasus suap yang menjerat para kepala daerah terkait proyek pengadaan barang dan jasa baik di tingkat provinsi, kota, maupun kabupaten.

Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode M Syarif tak memungkiri bila proyek pengadaan barang dan jasa rawan dengan praktik suap. Menyikapi hal tersebut, KPK pun memiliki empat saran agar praktik tindak pidana korupsi suap tersebut tidak terjadi lagi.

Saran pertama yang dilakukan KPK adalah meminta agar proyek pengadaan barang dan jasa dilakukan secara transparan dan akuntabel. Solusinya adalah dengan menggunakan aplikasi e-program maupun e-katalog. "Kita minta supaya seluruh Indonesia e-program harus ada dan e-katalog harus dipercepat agar pembengkakan biaya tidak terjadi," kata Laode di Gedung KPK, Jakarta, Ahad (17/9).

Saran kedua, sambung Laode, sistem perizinan harus diperbaiki melalui mekanisme sistem pelayanan terpadu satu pintu. "Harus satu pintu atau satu atap agar gampang dikontrol. Dan sebaiknya tidak ada lagi pertemuan tatap muka antara pemohon dan aparat yang memberikan izin," ujarnya.

Yang ketiga, adalah dalam sistem penganggaran jugaharus dilakukan e-planning dan e-budgeting secara baik. "Supaya antara DPRD, gubernur, bupati, bupati, wali kota dibuatnya juga e-planing dan e-budgeting harus baik. Sayangnya sampai hari ini belum ada yang menerapkan itu," kata Laode.

Saran yang terakhir, sambung Laode, terkait penguatan Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP) di seluruh kementerian atau lembaga. "Ini (pengawasan) tidak boleh hanya dilakukan KPK, tapi seluruh kementerian dan lembaga harus kita minta (penguatan APIP)," tukasnya.

Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengungkapkan, pada 2017 ini tim satgas KPK sudah 15 kali melakukan operasi tangkap tangan (OTT). "Tahun 2017 ada 15 sampai saat ini, sejak awal (KPK) sampai tahun ini ada lebih dari 70 OTT," ungkap Febri.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement