REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjelaskan, penghibahan barang rampasan dan sitaan dari koruptor, dilakukan atas seizin dan sepengetahuan Kementerian Keuangan (Kemenkeu). "Semua dicatat sebagai barang milik negara oleh Kemenkeu dan ada persetujuan Menkeu untuk dihibahkan. Jadi bukan keputusan KPK sendiri tanpa sepengetahuan Kemenkeu," kata Komisioner KPK Laode Syarif dalam Rapat Dengar Pendapat Umum KPK dengan Komisi III di gedung parlemen, Jakarta, kemarin.
Dalam RDPU tersebut perwakilan anggota Komisi III yang hadir yakni Mukhamad Misbakhun yang menggantikan Syamsul Bachri dari Golkar, mempertanyakan kewenangan KPK dalam menghibahkan barang rampasan/sitaan. Laode mengatakan dalam mekanismenya, barang rampasan/sitaan yang sudah inkrah kemudian dinilai oleh Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) dan dicatat sebagai milik negara oleh Kemenkeu dan ada persetujuan Menteri Keuangan untuk dihibahkan.
Sejauh ini barang yang dihibahkan antara lain, mobil pemadam kebakaran untuk pemda, mobil Toyota Kijang untuk operasional Polri dan lainnya. Laode menyampaikan, kendala yang dihadapi KPK terkait barang rampasan/sitaan ini, antara lain mengenai sulitnya melelang barang sebelum ada putusan inkrah pengadilan, kecuali ada izin dari terdakwa.
Sementara itu, di sisi lain nilai barang rampasan/sitaan yang sebagian besar berupa kendaraan serta bangunan semakin lama semakin turun. Barang rampasan/sitaan tersebut juga sulit dilelang karena citra barang tersebut adalah milik koruptor atau hasil dari tindak pidana korupsi.