REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Indonesia Corruption Watch (ICW) menyayangkan kembali terjaringnya pejabat Kementerian Perhubungan dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Koordinator Divisi Investigasi ICW Febri Hendri, mengatakan terdapat beberapa faktor yang memicu pejabat melakukan tindak pidana korupsi.
"Pertama, biasanya untuk membiayai promosi jabatan. Jadi untuk mendapatkan jabatan tertentu dia membayar dan berusaha mengembalikan uang tersebut ketika dia sedang menjabat," ujar Febri saat dihubungi, Jumat (25/8).
Kedua, sambung Febri, bisa juga karena gaya hidup pejabat dan keluarganya yang menuntut biaya tinggi yang diperoleh melalui korupsi. Ketiga, lanjut Febri, adanya budaya menerima gratifikasi atau suap.
"Gratifikasi atau suap dianggap suatu hal biasa atau bentuk penghormatan dan kemudian menjadi kebiasaan," ucapnya.
Keempat, tambah Febri, adalah adanya tuntutan politik atau tekanan dari atasan untuk melakukan korupsi dan pelakunya mendapatkan keuntungan dari praktik korupsi tersebut.
Sementara itu, Wakil Koordinator ICW Agus Sunarto mengatakan jawaban membuat jera para koruptor adalah dengan memperberat hukuman terhadap para koruptor. "Perberat vonis dan perketat remisi bagi koruptor jawabannya. Biar ada efek jera," tegas Agus.
Menurut Agus, saat ini KPK sudah sangat bagus dalam penindakan tindakan korupsi. Selain itu, dukungan masyarakat juga menjadi salahbsatu faktor utama dalam pemberantasan korupsi saat ini.
"KPK saat ini sudah oke, masyarakatnya juga bagus karena mau lapor," ucapnya.
Namun, tambah Agus, kebandelan para pejabat bisa terus muncul lantaran hukuman yang terbilang ringan dan masih adanya hadiah remisi kepada para narapidana koruptor. "Sayangnya, pejabat tetap bandel karena tahu vonis tidak berat apalagi ada masih ada remisi," kata Agus.