Senin 14 Aug 2017 12:21 WIB

Tim Advokasi: Novel Baswedan Kooperatif untuk Diperiksa

Rep: Ali Mansur/ Red: Andi Nur Aminah
Ketua Umum Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar (kiri) berfoto bersama Novel Baswedan dan aktivis Kontras yang juga tim advokasi Novel, Haris Azhar.
Foto: Twitter/@Dahnilanzar
Ketua Umum Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar (kiri) berfoto bersama Novel Baswedan dan aktivis Kontras yang juga tim advokasi Novel, Haris Azhar.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tim Advokasi Novel Baswedan, Haris Azhar menyampaikan bahwa kliennya sangat kooperatif untuk diperiksa oleh kepolisian. Oleh karena itu dia mengapresiasinya mengingat terdapat beberapa hal yang sebenarnya bisa dipermasalahkan oleh Novel Baswedan. Di antaranya, Haris mengatakan, pemeriksaan tidak didahului dengan surat panggilan untuk pemeriksaan.

"Kepolisian hanya mengajukan pendampingan proses penyidikan yang diterima oleh KPK. Sebagaimana kita ketahui, KUHAP mengatur bahwa pemeriksaan saksi harus didahului oleh pemanggilan terhadap saksi 3x24 jam sebelum pemeriksaan," terang Haris dalam siaran pers yang diterima Republika.co.id, Senin (14/8)

Kemudian, pemeriksaan tidak didahului dengan koordinasi secara resmi kepada otoritas setempat. Lazimnya pemeriksaan saksi di luar negeri harus didahului dengan koordinasi otoritas setempat, baik itu KBRI maupun institusi penegak hukum setempat.

KBRI mengajukan surat pemanggilan terhadap orang yang diperiksa. Dalam pemeriksaan Novel Baswedan hal tersebut tidak dilakukan. "Permasalahan selanjutnya adalah, kesehatan Novel masih dalam pengawasan dokter dan ia masih mengalami sejumlah gangguan karena dampak penyerangan terhadap dirinya. Kata Haris, pada tanggal 17 Agustus nanti Novel akan menjalani operasi besar untuk mata kirinya yang rusak parah akibat siraman air keras," tambahnya.

Haris mengatakan, permasalahan berikutnya, adalah pemeriksaan tidak didahului dengan meminta izin dari dokter yang merawat Novel. Haris mengatakan, iktikad baik Novel Baswedan untuk tetap bersedia diperiksa oleh kepolisian tersebut menunjukkan bahwa tuduhan Novel tidak kooperatif dan menghambat jalannya penyidikan, merupakan tuduhan yang tidak berdasar.

Beberapa kali kepolisian menyatakan bahwa mereka terhambat untuk memeriksa Novel. "Padahal prosedur untuk pemeriksaan belum pernah ditempuh dan terlebih sebelumnya di rumah sakit Novel juga sudah menceritakan kronologis dan informasi terkait peristiwa penyerangan kepada kepolisian," keluh Haris.

Haris menambahkan, meskipun Novel menjalani pemeriksaan, tim kuasa hukum dan Novel sendiri meragukan langkah serius dari kepolisian. Bahkan ada ketidakpercayaan terhadap kinerja kepolisian mengingat banyaknya kejanggalan dalam penyidikan kasus Novel seperti tidak adanya sidik jari, polisi menyatakan bahwa orang yang mengintai rumah Novel hanyalah sekelompok “mata elang”, saksi penting tidak dilindungi identitasnya oleh kepolisian, dan proses penyidikan yang berkembang sangat lambat selama lebih 4 bulan.

Selain itu, kata Haris, pihaknya sebagai kuasa hukum, khawatir polisi akan meminta Novel membuktikan siapa aktor intelektual penyerangan. Hal tersebut merupakan tindakan yang tidak adil mengingat Novel adalah korban bukan pelaku. Tanggungjawab mengungkap aktor intelektual adalah tugas kepolisian, bukan korban.

Kekhawatiran lainnya, sambung Haris, adalah pemeriksaan hanya sekadar formalitas dan pintu masuk menyudutkan Novel yang sudah berbicara ke media mengenai dugaan keterlibatan jendral di kepolisian. "Jika hal tersebut terjadi tentunya semakin beralasan bahwa kasus ini harusnya diselesaikan melalui Tim Gabungan Pencari Fakta, bukan kepolisian," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement