REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua DPR-RI, Fadli Zon menyinggung pemerintahan saat ini seperti menggunakan hukum sebagai alat politik. Hal terseut, kata dia, bisa dilihat dari fenomena perpindahan dukungan Harry Tanoe (HT) pada Joko Widodo yang dipersepsikan masyarakat sebagai langkah HT untuk terlepas dari jerat hukum.
"Persepsi itu mewakili perasaan masyarakat. Jadi belum tentu (perpindahan HT) sesuai dengan hati nuraninya," ujar dia saat ditemui di Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen Senayan, Kamis (8/3).
Wakil Ketua Umum Partai Gerindra tersebut juga merasa ada keanehan yang terjadi dalam kasus hukum yang membelit Ketua Umum Partai Perindo, HT. Menurut Fadli Zon, kasus SMS ancaman yang dibelitkan penegakkan hukum pada HT terlihat seperti sebuah lelucon.
"Itu kan kalau kasus SMS itu tidak ada kasus menurut saya. itu kan lucu, lucu juga. bagaimana sebuah SMS kok bisa membuat orang menjadi tersangka, sementara SMSnya biasa-biasa saja," kata dia.
Fadli mengatakan, dirinya sudah melihat SMS yang dikirim HT pada Subdirektorat Penyidik Tindak Pidana Korupsi Kejaksaan Agung, Yulianto, pada 5 Januari 2016 silam tidak memliki unsur ancaman "Saya sudah baca SMS itu berkali-kali, apa masalahnya? Enggak ada cuma ngomong gitu doang," kata dia.
Fadli Zon juga menyindir pada pemerintahan Joko Widodo yang dinilai menggunakan hukum sebagai alat politik untuk meraih dukungan dari lawan pilitik. Menurut dia, pemerintahan saat ini cenderung untuk membelenggu kebebasan di dalam mengambil sikap politik.
Sejumlah elemen baik elemen aktivis maupun elemen organisasi cenderung ditekan, sehingga menjadikan hukum sebagai alat kepentingan menekan atau menggalang untuk menjadi barisan pendukung. "Ini yang bisa kita rasakan hukum menjadi alat politik," ujar dia mengakhiri.