Sabtu 22 Jul 2017 07:53 WIB

Akademisi: PT 20 Persen Mudahkan Rakyat Pilih Presiden

Ketua DPR Setya Novanto (kedua kiri), bersama pimpinan DPR mengikuti rapat paripurna pengambilan keputusan RUU Pemilu di kompleks parlemen, Jakarta, Kamis (20/7).
Foto: Republika/ Yasin Habibi
Ketua DPR Setya Novanto (kedua kiri), bersama pimpinan DPR mengikuti rapat paripurna pengambilan keputusan RUU Pemilu di kompleks parlemen, Jakarta, Kamis (20/7).

REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Ketua Program Magister Ilmu Politik FISIP Universitas Diponegoro Semarang Teguh Yuwono menilai sistem Pemilihan Umum Presiden 2019 dengan menerapkan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold 20 atau 25 persen bakal memudahkan rakyat memilih calon presiden.

"Dengan ketentuan presidential threshold 20 persen dari kursi DPR RI atau 25 persen dari total suara sah pada Pemilu 2014, kemungkinan besar paling banyak tiga pasang calon," kata Teguh, Sabtu (22/7). 

Ia mengatakan ambang batas pencalonan presiden tersebut membuat parpol tidak bisa mengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden sendiri. Artinya, mereka berkoalisi. 

Dengan komposisi demikian, tidak banyak calon yang bakal maju pada Pemilihan Presiden 2019. "Paling banter muncul tiga peserta pilpres sehingga rakyat mudah menentukan pilihannya," ujar dia. 

Kemudian dia menjelaskan apakah koalisi itu cara yang baik dalam berpolitik. Menurut dia, koalisi sebetulnya satu cara untuk penyederhanaan partai. "Kalau nol persen, semua orang bisa mencalonkan dan semua parpol bisa mengusung pasangan calon. Hal ini yang rumit," kata dia.

Dengan demikian, kata Teguh, ketentuan ambang batas pencalonan presiden itu lebih menguntungkan. Selain itu, pengesahan presidential threshold 20 persen juga sederhana, memudahkan rakyat memilih, lebih efisien dalam sisi anggaran karena pelaksanaannya cukup satu putaran.

"Kemungkinan besar pada Pilpres 2019, head to head, dua pasangan calon. Kalaupun ada tiga pasangan calon, kontestan ketiga paling hanya pelengkap penderita," ujar dia.

Kendati demikian, Teguh mengatakan, meski DPR RI, Jumat (21/7) dini hari, telah menyetujui pengesahan Rancangan Undang-Undang Penyelenggaraan Pemilu menjadi UU. Undang-undang ini belum final karena masih ada pihak yang mengajukan uji materi UU Penyelenggaraan Pemilu terhadap UUD NRI 1945 ke Mahkamah Konstitusi.

"Hasil Rapat Paripuna DPR RI belum menjadi kepastian hukum karena masih ada upaya judicial review ke Mahkamah Konstitusi," kata Teguh.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement