REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) menjatuhkan hukuman tujuh tahun penjara kepada mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri Irman. Sementara, mantan Direktur Pengelola Informasi Ditjen Dukcapil Kemendagri Sugiharto divonis lima tahun penjara.
Irman dan Sugiharto merupakan terdakwa perkara dugaan korupsi pengadaan proyek Kartu Tanda Penduduk elektronik (KTP-el). Selain hukuman penjara, majelis hakim juga menjatuhkan denda kepada mereka.
Majelis hakim memiliki beberapa pertimbangan dalam menjatuhkan vonis. Salah satu pertimbangan dalam merumuskan vonis terdakwa adalah pertemuan kedua terdakwa dengan Ketua DPR RI Setya Novanto.
Hadir dalam pertemuan yang berlangsung di Hotel Grand Melia Jakarta, kedua terdakwa bersama Sekretaris Jenderal Kementerian Dalam Negeri, Diah Anggraini, dan pengusaha Andi Agustinus alias Andi Narogong (AA). Dalam pertemuan yang digelar pukul 06.00 WIB tersebut, Setnov panggilan akrab Novanto yang menjabat sebagai Ketua Fraksi Partai Golkar datang dan menyatakan kesediannya untuk membantu proses pembahasan anggaran di DPR.
"Pada pertemuan di Grand Melia, Setya Novanto mengatakan akan mendukung proyek e-KTP," ujar hakim Franky Tambuwun saat membacakan pertimbangan putusan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (20/7).
Selain itu, majelis hakim juga mempertimbangkan pertemuan antara terdakwa Irman dan AA di ruang kerja Setnov di Lantai 12 Gedung DPR RI. Saat itu AA dan Irman meminta kepastian Setnov ihwal persetujuan DPR terkait anggaran proyek KTP-el dan Setnov mengatakan kepada mereka bahwa akan mengkoordinasikan dengan pimpinan fraksi lainnya.
Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim juga menyebutkan mantan anggota DPR RI Markus Nari yang saat itu masih menjadi anggota komisi II DPR menerima uang sejumlah Rp 4 miliar dari Vidi Gunawan (adik AA).
Menurut Hakim, Markus ikut menerima uang dari proyek KTP-el berawal dari permintaanya terhadap Sugiharto. Politikus Partai Golkar itu meminta sejumlah uang kepada Irman karena ikut membantu memuluskan anggaran KTP-el tahap pertama di DPR.
"Bahwa uang yang diterima terdakwa itu diserahkan kepada Markus Nari sejumlah 400 ribu dollar AS. Uang yang diberikan pada Markus Nari bermula saat Markus datang ke Kemendagri dan meminta uang Rp 5 miliar. Atas permintaan itu terdakwa minta uang kepada Anang S Sudiharjo. Kemudian Anang meminta uang kepada Vidi Gunawan (adik AA)," terang Hakim Franky.
Hakim Franky mengungkapkan, pertemuan antara Anang dan Markus berlangsung di dekat kantor TVRI, Senayan. Namun, uang yang diberikan tidak sejumlah yang diminta Markus yakni Rp 5 miliar. "Hanya ada 4 miliar. Uangnya engga cukup," dan dijawab Markus. "Engga apa-apa," kata Hakim Franky menirukan percakapan keduanya.
Pertimbangan majelis hakim lainnya adalah perbuatan kedua terdakwa yang diyakini menguntungkan sejumlah pihak salah satunya adalah politisi Partai Golkar Ade Komarudin sebesar 100.000 dollar AS. "Bahwa selain itu, terdapat pihak lain yang diuntungkan oleh para terdakwa, yakni Ade Komarudin sebesar 100.000 dollar AS," ujar hakim Anwar.