REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Sudah hampir sepekan pemilik kios di selatan Stasiun Tugu Yogyakarta ditertibkan. Namun hingga kini, seluruh pedagang itu belum mendapat solusi apapun sehingga potensi pendapatan mereka pun kian terancam.
Di samping itu, para pedagang pun menilai langkah penertiban yang dilakukan merupakan langkah mal administrasi. Hal ini mendorong para pedagang bersama Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta mengadukan persoalan mal administrasi ini kepada Ombudsman DIY.
Epri Wahyudi, Kepala Divisi Ekonomi, Sosial dan Budaya LBH Yogyakarta mengatakan, dirinya bersama para pedagang mendatangi Ombudsman dengan agenda pengaduan tindakan mal administrasi yang dilakukan oleh PT KAI dalam penggusuran pedagang pasar resmi di selatan Stasiun Tugu. "Pada prinsipnya, para pedagang ini adalah pedagang resmi," ujarnya di Kantor Ombudsman Yogyakarta, Selasa (11/7).
Namun, langkah pendisiplinan dengan merubuhkan kios yang dilakukan oleh PT KAI Daop VI dinilai banyak melanggar ketentuan administrasi. Tak hanya itu, tindakan ini pun akan diseret ke pengadilan karena PT KAI dinilai telah melakukan perusakan aset milik Pemerintah Kota (Pemkot) Yogyakarta berupa kios.
Pasalnya, kios tersebut merupakan kios yang dibangun oleh Pemkot yang kemudian ditempati oleh para pedagang dengan membayar retribusi secara rutin. Padahal, lanjut Epri, PT KAI merupakan sebuah perusahaan yang secara landasan hukum tidak memiliki hak untuk merubuhkan bangunan yang didirikan oleh Pemkot.
Ketua Paguyuban Pedagang Resmi Pasar Kembang Manunggal Karso, Rudi Tri Purnama mengatakan mengaku sangat kecewa dengan seluruh pihak yang terlibat dalam langkah pendisiplinan ini. Ia kecewa karena ternyata pendisiplinan dilakukan dengan penggusuran namun tanpa dibarengi dengan rembukan terkait langkah lanjutan atas adanya penggusuran ini.
"Tidak ada satupun pihak yang memberikan solusi atas langkah apa yang dapat kami lakukan agar kami dapat kembali melakukan kegiatan ekonomi secara resmi setelah adanya penggusuran ini," ucap Rudi.
Padahal, selama puluhan tahun, seluruh pedagang secara rutin melakukan pembayaran retribusi resmi. Namun kejadian ini membuat para pedagang yang telah berperan dalam memberikan pendapatan daerah ini merasa diabaikan.
"Ada 71 kios yang sudah dihancurkan. Padahal retribusi selama bertahun-tahun telah kami bayarkan dengan tertib," kata dia. Mungkin, ia tak terlalu merasa diabaikan jika langkah penggusuran ini dibarengi dengan solusi tempat alternatif bagi anggota paguyuban agar dapat kembali melakukan proses bisnisnya.
Setiap kios di kawasan itu wajib membayar retribusi dengan nominal mulai dari Rp 2.400 hingga Rp 7.500 per hari. Menurut Rudi, besaran retribusi bergantung pada jenis usaha mengingat jenis usaha yang terdapat di lokasi itu cukup beragam.
Rudi sendiri yang membuka kios kelontong yang berjualan makanan dikenai retribusi sekitar Rp. 5 ribu per hari. Sedangkan kios yang digunakan untuk menawarkan jasa perbankan seperti penukaran uang terkena retribusi paling tinggi yakni Rp 7.500.
Jika rata-rata kios membayar retribusi Rp 5 ribu per hari, maka seluruh kios yang telah ambruk pernah berkontribusi dalam pendapatan daerah sebesar Rp 127,800.000 dalam satu tahun saja. Padahal Pemkot telah menarik retribusi dari kios itu selama beberapa tahun.
Kepala Ombudsman Kantor Perwakilan DIY Budhi Masturi mengatakan, dengan adanya pengaduan ini, maka Ombudsman akan segera malakukan klarifikasi kepada seluruh pihak yang terkait.
"Ini masih langkah awal, kami belum bisa menyimpulkan apapun. Kami masih harus mengumpulkan semua materi untuk nantinya ditindak lanjuti dengan sebuah rekomendasi dari Ombudsman," kata Budhi.
Ia berharap, Ombudsman dapat berperan dalam memberikan solusi terbaik bagi seluruh pihak. Solusi itu mungkin dapat ditempuh melalui jalur administrasi yang ada maupun melalui langkah mediasi.