Rabu 28 Jun 2017 22:39 WIB

KPK: Pencantuman Nama di Dakwaan Sesuai Hukum Acara

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Bilal Ramadhan
Juru bicara KPK Febri Diansyah menyampaikan pernyataan pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Rabu (12/4).
Foto: Antara/Reno Esnir
Juru bicara KPK Febri Diansyah menyampaikan pernyataan pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Rabu (12/4).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Febri Diansyah menuturkan persoalan pencantuman nama dalam surat dakwaan sudah sesuai dengan Hukum Acara Pidana yang berlaku. Menurut dia, surat dakwaan tentu harus dibuat secara jelas dan lengkap.

"Sebuah dakwaan harus diuraikan secara cermat, jelas dan lengkap," kata dia saat dikonfirmasi, Rabu (28/6).

Sebelumnya, Pengamat Hukum Pidana Firman Wijaya menilai ada demoralisasi dalam penegakan hukum yang dilakukan KPK yang kemudian menimbulkan efek luar biasa pada pihak-pihak yang disebutkan namanya dalam surat dakwaan. Misalnya dalam surat dakwaan untuk terdakwa kasus KTP-el, Irman dan Sugiharto, di mana mencantumkan nama-nama pejabat yang diduga terlibat kasus tersebut.

Menurut Firman, jika nama-nama yang disebut itu tidak menjadi tersangka tapi sudah menjadi berita, akan berakibat besar pada kehidupan yang bersangkutan. "Demoralisasi terhadap orang yang disebut namanya itu kan implikasinya demikian besar, kalau itu terjadi, sulit memulihkannya," kata direktur Lembaga Bantuan Hukum Fakultas Hukum pada Universitas Islam As-Syafi'iyah ini.

Karena itu, menurut Firman, pemerintah pun harus merumuskan secara tepat terkait bagaimana solusinya. Di beberapa negara, lanjut Firman, ada perlakuan untuk merehabilitasi nama-nama yang telah disebut dalam surat dakwaan.

"Karena kalau nama sudah disebut, nama jadi berita tapi tidak jadi tersangka, tidak jadi terdakwa, itu implikasinya luar biasa. Makanya perlu menjaga agar tidak terjadi yang namanya error injudgement," ujar dia.

Walaupun, Firman mengakui memang sulit memulihkan nama-nama pihak dalam surat dakwaan yang akhirnya tidak menjadi tersangka ataupun terdakwa. Terlebih, sampai saat ini belum ada regulasi yang mengatur soal rehabilitasi atau pemulihan nama yang disebut dalam dakwaan tapi tidak menjadi tersangka.

Seharusnya, menurut Firman, ada regulasi yang memberikan keseimbangan antara penegakan hukum dan hak orang yang disebutkan namanya. "Misleading peradilan ini melahirkan berbagai persoalan. Memunculkan reaksi DPR dengan hak angket. Itu semata-mata respons karena terjadinya misleading error injudgement," tutur dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement