REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Terdakwa kasus penistaan agama Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dituntut hukuman satu tahun penjara dengan dua tahun masa percobaan oleh jaksa penuntut umum (JPU). Tuntutan percobaan ini dibacakan JPU dalam sidang ke-20 kasus di auditorium gedung Kementerian Pertanian RI, Ragunan, Jakarta Selatan, Kamis (20/4).
Koordinator Persidangan Gerakan Nasional Pembela Fatwa (GNPF) MUI Nasrulloh Nasution kecewa dengan putusan JPU tersebut. Nasrulloh mengungkapkan kekecewaannya kepada JPU ini karena Ahok tidak dituntut dengan pasal penodaan agama.
"Tuntutan pidana kepada Ahok sangat ringan dan mencederai keadilan masyarakat. Kita tinggal berharap kepada majelis hakim untuk berani memutus pidana penjara maksimal lima tahun dengan mengesampingkan azas ultra petita atas nama keadilan masyarakat," kata Nasrulloh, Kamis (20/4).
Nasrulloh mencontohkan kasus-kasus penistaan agama yang sudah divonis pidana penjara oleh pengadilan antara lain kasus Tajul Muluk alias H Ali Murtadha divonis empat tahun penjara oleh pengadilan negeri Sampang tahun 2012, kasus Sebastian Joe divonis lima tahun penjara oleh Mahkamah Agung tahun 2013.
Kasus Antonius Richmond Bawengan divonis lima tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Tumenggung tahun 2011, kasus Arswendo Atmowiloto divonis lima tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tahun 1991, dan kasus Rusgiani divonis satu tahun dua bulan penjara oleh Pengadilan Negeri Denpasar tahun 2013.
Ia mempertanyakan vonis sangat ringan JPU kepada Ahok yang dinilainya bertentangan dengan keadilan masyarakat, khususnya umat Islam yang sudah tersakiti dan terhina dengan ucapan Ahok.
Sebelumnya Ahok dituntut pidana percobaan didasari pada kesimpulan hukum JPU bahwa Ahok telah terbukti bersalah melakukan tindak pidana di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaaan terhadap golongan suatu golongan masyarakat Indonesia sebagaimana dakwaan alternatif kedua Pasal 156 KUHP.
Selain itu, JPU juga mempertimbangkan alasan yang meringankan dan memberatkan dalam penuntutan ini. Alasan yang memberatkan, perbuatan terdakwa meresahkan masyarakat dan membuat kesalahpahaman antargolongan rakyat Indonesia. Alasan meringankan, terdakwa telah melewati proses hukum ini dengan baik, bersikap sopan, berjasa dalam pembangunan Jakarta, dan mengaku sudah berubah menjadi humanis.