Rabu 22 Mar 2017 17:56 WIB

DPR Didesak tidak Revisi UU KPK

Rep: Rizma Riyandi/ Red: Bayu Hermawan
Pakar Hukum Tata Negara Universitas Gajah Mada (UGM) Zainal Arifin Mochtar saat menjadi pembicara dalam diskusi publik Mahkamah Konstitusi Ikhtir Menjaga Integritas dan Profesionalitas Mahkamah Konstitusi di Jakarta, Kamis (9/3).
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Pakar Hukum Tata Negara Universitas Gajah Mada (UGM) Zainal Arifin Mochtar saat menjadi pembicara dalam diskusi publik Mahkamah Konstitusi Ikhtir Menjaga Integritas dan Profesionalitas Mahkamah Konstitusi di Jakarta, Kamis (9/3).

REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Ketua Pusat Kajian Anti (Pukat) Korupsi UGM, Zainal Arifin Mochtar mendesak pimpinan DPR RI untuk tindak melanjutkan rencana revisi UU Nomor 30 tahun 2012 tentang Komisi Pemberantsan Tindak Pidana Korupsi. Rencana revisi UU tersebut disinyalir memiliki muatan politik dan bertujuan untuk melemahkan kinerja KPK.

Namun apabila rencana itu tetap bergulir, maka Presiden Joko Widodo diminta untuk turun tangan untuk tidak melakukan pembahasan lebih lanjut usulan revisi UU KPK tersebut. Zainal mengatakan revisi UU KPK bukan hal mendesak yang harus dilaksanakan sekarang.

Sebaliknya yang harus segera dilakukan DPR RI adalah memperbaiki UU Tindak Pidana Korupsi agar selaras dengan Pelaksanaan Konvensi PBB Melawan Korupsi (UNCAC). "Sebenarnya jauh lebih penting apabila DPR memperbaiki UU Korupsi kita disinkronkan dengan UNCAC. Lalu menghadirkan KPK di daerah," kata Zainal, Rabu (23/3).

Ia menjelaskan, penolakan terhadap revisi bukan berarti KPK tidak boleh disentuh oleh legislatif. Namun setiap penegakan hukum level tinggi yang dilakukan oleh KPK selalu memuncul ide aneh dari DPR.

Menurut Zainal beberapa draft revisi RUU KPK yang ada sekarang tidak memuat hal yang baru. Namun berisi ide-ide lama yang terus dimunculkan kembali. Misalnya soal kewenangan penyadapan KPK.

Zainal pun mempertanyakan kenapa kewenangan penyadapan KPK perlu diatur sementara kewenangan penyadapan juga dipunyai oleh lembaga lain. “Kenapa hanya diatur di RUU KPK padahal penyadapan ada juga di BNN dan BIN. Padahal perintah dari MK sendiri, diperlukan UU khusus yang mengatur soal penyadapan,” katanya.

Di dalam draft Revisi UU KPK tersebut, menurut Zainal, DPR tampak berupaya memperpanjang jalur birokrasi urusan penyadapan KPK. Apalagi jika penyadapan harus melewati izin dari Dewan Pengawas dengan pelaporan yang berkala.

Usulan adanya Dewan Pengawas KPK di RUU itu, Menurut Zainal, justru menciptakan matahari kembar di tubuh KPK. Maka itu ia mendesak agar presiden menolak draft revisi UU KPK.

"Sesuai janji Jokowi saat Pipres, ia tidak akan mengganggu KPK bahkan berusaha menguatkan peran KPK. Saya harap RUU ini tidak bergulir, jika pun bergulir saya harap Presiden tidak tanda menandatangani pembahasannya," ujar Dosen FH UGM itu.

Guru Besar FH UGM, Eddy OS Hiarej juga sependapat dengan Zainal. Menurutnya yang harus diperbaiki oleh DPR adalah memperbaiki UU tindak pidan korupsi sesuai dengan UNCAC. “Tapi yang dilakukan ini mendahulukan hukum formilnya dibandingkan hukum materialnya,” katanya.

Oleh karena itu, Eddy mendesak agar DPR RI menghentikan niat untuk merevisi UU KPK. Menurutnya korupsi merupakan kejahatan luar biasa sehingga penanganan dan penindakannya pun membutuhkan upaya yang luar biasa.

Sedangkan Kepala Badan Keahlian DPR RI, Johnson Rajagukuguk mengatakan, revisi UU KPK berisi tentang empat hal. Antara lain aturan mengenai kewenangan penyadapan, pembentukan Dewan Pengawas, penerbitan SP3, serta perekrutan penyelidik dan penyidik KPK.

Meski demikian, kata Johnson, pihaknya hanya melakukan sosialisasi untuk menyerap aspirasi publik terkait rencana revisi UU KPK tersebut . "Kami hanya menjaring aspirasi, perlu dan tidaknya revisi KPK. Sedangkan dicoret atau tidaknya agenda tersebut dari daftar legislasi menjadi kewenangan pimpinan DPR," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement