Ahad 05 Mar 2017 22:04 WIB

OC Kaligis Keberatan JPU KPK Hadir di Sidang PK

Terpidana kasus dugaan tindak pidana korupsi suap Majelis Hakim dan Panitera PTUN Medan, Otto Cornelis Kaligis memberikan keterangan kepada wartawan sebelum menuju Lapas Sukamiskin di halaman Kantor KPK, Jakarta, Kamis (25/8).
Foto: Antara/Sigid Kurniawan
Terpidana kasus dugaan tindak pidana korupsi suap Majelis Hakim dan Panitera PTUN Medan, Otto Cornelis Kaligis memberikan keterangan kepada wartawan sebelum menuju Lapas Sukamiskin di halaman Kantor KPK, Jakarta, Kamis (25/8).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengacara OC Kaligis keberatan kehadiran Jaksa Penuntut Umun (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada sidang peninjauan kembali (PK) karena dianggap sudah tidak objektif.

"Jaksa Yudhi Kristiana dalam sebuah media memprediksi hukuman yang lebih berat kepada saya dan itu akhirnya menjadi kenyataan," kata kuasa hukum OC Kaligis, Desyana di Jakarta, Ahad (5/3).

Desyana mengatakan dalam keterangan jaksa kepada media bahwa tuntutan 10 tahun termasuk ringan, padahal bagaimana tuntutan tiga tahun dan vonis dua tahun terhadap M.Yaghari Bastara alias Gerry, anak buah Kaligis merupakan sumber berita dari KPK.

Dia menambahkan sejak semula hingga sekarang jaksa KPK hadir pada persidangan sudah sangat bernafsu untuk menghukum berat terhadap Kaligis, tidak obyektif, tidak memenuhi rasa keadilan karena adanya konflik kepentingan.

Kaligis melayangkan surat kepada Ketua Majelis Hakim yang menyidangkan PK melalui kuasa hukum, yang intinya bahwa sesuai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam risalah perkara No.33/PPU-XIV/2016 halaman 9.

"Pasal 263 ayat (1) UU No.8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat, yaitu sepanjang dikenal lain yang secara eksplisit tersurat dalam norma a quo," katanya.

Syarat tersebut hanya berlaku bagi jaksa untuk putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan yang menguntungkan terdakwa. PK sebagai upaya hukum luar biasa yang dapat dilakukan terpidana atau ahli warisnya harus dipandang sebagai bentuk pelanggaran HAM bagi warga negara, karena seorang terpidana harus berhadapan kekuasan negara yang begitu kuat.

Dia menambahkan lembaga PK sebagai salah satu bentuk perlindungan HAM yang menjiwai kebijakan sistem peradilan pidana Indonesia. Alasan lain keberatan itu karena jaksa telah melalui proses panjang mulai dari penyidikan, pemeriksaan, penuntutan dan putusan pada tingkat pertama, banding maupun kasasi dipandang telah memberikan kesempatan yang cukup bagi jaksa mengunakan kewenangan yang dimiliki untuk membuktikan kesalahan terdakwa.

Atas dasar itu, selaku pemohon PK, menanggapi jaksa mengenai pasal 265 KUHAP sudah tidak relevan, menghadapi sidang PK bukan kewenangan jaksa berdasarkan putusan MK bahwa hak beracara pada jaksa cukup hanya sampai kasasi.

Dia mengatakan menyangkut hakim agung Artidjo bahwa membahas hal yang meringankan tapi dalam vonis malahan memberatkan dari tujuh tahun menjadi 10 tahun penjara. Padahal dalam Surat Edaram Mahkamah Agung (SEMA) No.4 tahun 2016 tanggal 9 Desember 2016, bahwa hakim hanya dapat mengurangi vonis bukan menambah, itupun kalau terdapat kesalahan penerapan hukum.

Sedangkan Hakim agung itu tidak pernah membahas penerapan hukum dalam menghitung kerugian negara yang hanya oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI.  Hakim memvonis Kaligis 5,5 tahun di PN Jakarta Pusat, lalu banding dengan hukuman tujuh tahun kemudian selama 10 tahun tingkat kasasi karena dituduh menyuap hakim di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Medan, Sumatera Utara.

Kaligis didakwa melanggar Pasal 6 angka I UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sama dengan anak buahnya M. Yagari Bhastara alias Gerry. Dia mempertanyakan mengapa Gerry hanya dihukum dua tahun tanpa JPU banding, tapi dirinya selama 10 tahun jaksa banding dan kasasi. Sidang PK Kaligis kembali dilanjutkan Senin (6/3) di PN Jakarta Pusat dengan agenda menghadirkan saksi ahli.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement