Ahad 05 Mar 2017 06:58 WIB

ICW: Pencabutan Hak Politik Bagi Terdakwa Korupsi Masih Minim

Rep: Fauziah Mursid/ Red: Bayu Hermawan
ICW
ICW

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia Corruption Watch menyoroti minimnya putusan pidana tambahan berupa pencabutan hak politik kepada terdakwa korupsi oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Berdasarkan pemantauan ICW selama 2016 dari 573 putusan kasus Tipikor, hanya ada tujuh putusan yang memvonis terdakwa dengan pidana tambahan yakni pencabutan hak politik.

Peneliti Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan ICW, Aradila Caesar menilai jumlah tersebut sangat kecil jika dibandingkan jumlah terdakwa korupsi sepanjang 2016 sekitar 632 terdakwa.

"Pencabutan hak politik menjadi hukuman penting, mengingat pelaku-pelaku korupsi seringkali berasal dari wilayah politik dan cenderung ketika selesai menjalani hukuman penjara masih bisa mencalonkan kembali menjadi kepala daerah maupun anggota legislatif," ujarnya, Sabtu (4/3).

Ardila mengungkap, minimnya pidana pencabutan hak politik disebabkan karena seringnya hakim yang tidak mengabulkan tuntutan jaksa dengan sejumlah alasan. Ia mencontohkan kasus korupsi yang menjerat mantan Ketua Komisi D DPRD DKI Mohamad Sanusi.

Namun juga kata dia, hal lain juga karena jaksa yang tidak mengajukan tuntutan berupa pencabutan hak politik. Menurut Aradila, semua pihak mestinya menyadari bahwa pidana pencabutan hak politik bisa memberikan efek jera kepada pelaku korupsi.

"Jadi tak cukup mengandalkan pidana penjara, denda, maupun uang pengganti, akan tetapi implementasi dari Pasal 18 UU Tipikor berupa pencabutan hak politik harus juga dikenakan kepada terdakwa korupsi," katanya.

Oleh karenanya, Aradila menilai perlu dirumuskan kebijakan baik oleh Mahkamah Agung maupun Kejaksaaan Agung mewajibkan hakim maupun jaksanya menjatuhkan vonis atau mengajukan tuntutan yang lebih berat, berupa pencabutan hak politik, dan uang pengganti.

Hal ini kata dia, mengingat korupsi masuk dalam kejahatan luar biasa yang pelakunya harus diadili sesuai dengan hukum yang berlaku. Berkaitan dengan itu, ICW juga mencatat dari pemantauan pada 2016, aktor pelaku korupsi dari politik cukup siginifikan, dimana ada 39 DPR/DPRD dan 32 kepala daerah.

Adapun tren penanganan kasus korupsi cenderung melahirkan putusan pidana ringan. Pemantauan ICW terhadap vonis Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dalam kasus korupsi di Indonesia selama tahun 2016 ini, dari sekitar 573 putusan perkara korupsi, rata rata vonis hanya dua tahun dua bulan.

Dengan sebaran putusan Pengadilan Tingkat I sebanyak 420 putusan, Pengadilan Tingkat Banding sebanyak 121 putusan, dan Mahkamah Agung dengan 32 putusan. "Ini yang harus menjadi catatan, vonis untuk koruptor ini tidak memberikan efek jera karena pengadilan masih menghukum ringan pelaku korupsi," ujarnya lagi.

Menurut Aradila, vonis ringan paling banyak di tingkat Pengadilan Tipikor tingkat pertama dengan rata-rata hukuman satu tahun 11 bulan, kemudian pidana di tingkat banding 2,5 tahun penjara serta pidana di MA dengan empat tahun 11 bulan.

Ia merinci dari 573 putusan dengan total terdakwa 632 orang, sebanyak 354 orang masuk diklasifikasi hukuman ringan yakni 0-4 tahun di Pengadilan Tingkat pertama, di Pengadilan Tingkat Banding sebanyak 80 orang dan di tingkat MA sebanyak 14 orang.

"Secara keseluruhan ketiga tingkatan pengadilan Tipikor ini lebih cenderung menghukum ringan terdakwa kasus korupsi, dan ini selalu berulang tiap tahun," ucapnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement