Kamis 23 Feb 2017 08:55 WIB

Dewan Pakar ICMI: Alasan tak Memberhentikan Ahok Mengada-ada

Rep: C62/ Red: Ilham
Anton Tabah Digdoyo
Foto: Republika
Anton Tabah Digdoyo

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dewan Pakar ICMI Anton Tabah Digdoyo mengatakan, menurut pasal 83 UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, pemerintah melalui presiden bisa memberhentikan sementara gubernur atau wagub yang berstatus terdakwa. Namun, pemerintah dinilai masih mempertahankan pendapatnya untuk tidak memberhentikan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sebagai gubernur DKI. 

"Dan (pasal 83) itu sudah berjalan sejak UU diundangkan, tak satu pun gubernur dan wagub yang berstatus terdakwa lolos dari pasal tersebut," katanya kepada Republika.co.id, Kamis (23/2).

Menurut mantan petinggi Polri yang juga pernah berkali-kali menangani kasus penistaan agama di Indonesia, perintah UU-nya, kepala daerah yang sudah menjadi terdakwa bisa langsung diberhentikan sementara sampai ada kekuatan hukum tetap. "Namun terhadap Ahok presiden bersikap lain, selalu menunda-nunda sejak status tersangka yang mestinya ditahan pun tidak ditahan," ujarnya.

Anton menilai, alasan yang disampaikan pemerintah tidak memberhentikan Ahok mengada-ada, salah satunya menunggu fatwa MA. Tapi, kata Anton, begitu fatwa MA turun, pemerintah, baik presiden dan juga menterinya seakan menutup-nutupi dengan tidak menyampaikan bahwa MA tidak mengeluarkan fatwa kerena sidang Ahok sedang berlangsung.

"Lalu Mendagri pasang badan tidak memberhentikan sementara Ahok, siap mengundurkan diri dari Mendagri," katanya.

Menurut Anton, kasus Ahok ini sangat mudah dan sangat sederhana jika melihat kasus serupa yang sudah banyak terjadi di Indonesia. Dengan adanya UU penodaan/penistaan agama semua pelakunya dihukum berat, ditahan, diproses, dan dipenjara.

"Kenapa kasus Ahok jadi aneh? Karena dibela mati-matian oleh penguasa. Kenapa penguasa membela? Tanya saja pada mereka," katanya.

Anton menuturkan, kasus Ahok tidak perlu meminta fatwa baru MA. Sebab, sudah ada fatwa MA tahun 1984 agar semua pelaku penista agama dihukum seberat-beratnya, karena termasuk kejahatan yang derajat keresahan masyarakat sangat tinggi.

"Maka Arswendo dan lain-lain pun dihukum maksimal lima tahun penjara. Kenapa Ahok diistimewakan padahal azas hukum itu kesamaan, keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum juga harus wajib dijaga ditegakkan," katanya.

Anton mengatakan, pemberhetian sementara Ahok memang menjadi tugas dan wewenang presiden, bukan tugas dan wewenang Mendagri. Karena itu, ia mempertanyakan Mendagri yang pasang badan dan siap dicopot jika salah putusan.

"Ya jelas salah, wong bukan wewenang dia kok putuskan. Dan ya tak mungkin dicopot, yang nyopot menteri kan presiden, saya sebagai mantan pejabat tahu lah psikobirokrasi. Mendagri pasang badan itu pasti sudah kongkalikong dengan presiden dan presiden tak akan nyopot mendagri. Anak balita saja tahu lah," katanya.

Menurut Anton, rakyat sekarang bukan minta pemberhentian Ahok lagi, tapi menuntut pemberhentian Ahok secepatnya dan menuntut agar presiden Jokowi taat aturan dan taat hukum. "Jangan ngakali aturan, jangan melintir hukum. Ingat, kekuasaan ini cuma sebentar. Kalau rakyat sudah nuntut, itu kesabarannya sudah di tapal batas, kalau batas itu jebol, tak ada kekuatan apapun yang bisa membendungnya," katanya.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement