Rabu 22 Feb 2017 20:16 WIB

Pemuda Muhammadiyah: Berhentikan Ahok demi Tegakkan Akhlak Hukum

Rep: Amri Amrullah/ Red: Bayu Hermawan
 *Ketua PP Pemuda Muhammadiyah Bidang Hukum, HAM, dan Advokasi Publik, Faisal
*Ketua PP Pemuda Muhammadiyah Bidang Hukum, HAM, dan Advokasi Publik, Faisal

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jalan panjang polemik penonaktifan ahok dari jabatannya menuai tanggapan hukum yang beragam. Ketua PP Pemuda Muhammadiyah Bidang Hukum Faisal menilai, sejauh ini Pasal 83 (1) UU Pemda ditafsirkan tidak terlepas dari ancaman Pasal 156 dan 156a KUHP yang menjadi dasar dakwaan terdakwa.

"Mendagri sebagai pihak yang paling bertanggungjawab untuk memutuskan penonaktifan ahok. Mendagri terkesan berhati hati dan mendengar semua pihak," katanya kepada Republika.co.id, Rabu (22/2).

Dalih yang dibangun dari awal, bahwa Mendagri menunggu tuntutan dari JPU apakah tuntutan terhadap terdakwa lima tahun atau dibawah itu. Ia menduga, logika hukum yang dibangun Mendagri apabila tuntutan dibawah lima tahun maka terdakwa tidak akan diberhentikan.

Padahal tafsir yang demikian terang adalah upaya akrobatik hukum. Nalarnya begitu politis membaca dan memahami Pasal 83 (1). Menurutnya Mendagri harus membaca Pasal 83 (1) dengan niat yang baik. Perspektifnya dalam rangka menegakkan moral dan etika dalam berhukum.  Apalagi Mendagri memiliki tugas konstitusional untuk memastikan penyelenggaraan pemerintah daerah yang baik.

"Kami menitip pesan ke Bapak Mendagri, sejatinya akhlak hukum adalah sumber dari hadirnya nalar keadilan," ujarnya.

Membaca Pasal 83 (1) tidaklah mungkin dapat menyatu pada rasa keadilan jika tidak memiliki akhlak hukum. Nilai yang hendak di artikulasikan adalah moral dan etika. Lantas, lanjutnya mengapa Mendagri begitu berani mempertaruhkan reputasi jabatannya untuk menunda berhentikan terdakwa yang secara moral dan etik telah di proses hukum atas nama Pasal penodaan agama.

Apalagi, pilihan hukum Mendagri yang mengatakan menunggu tuntutan JPU tidak sama sekali dipersyaratkan oleh aturannya. Kepentingan hukum Pasal 83 (1) harus dilihat dalam kacamata imperatif, yang hendak ditegakkan yaitu perbuatan tercela.

Sepanjang perbuatan terdakwa tercela dan telah didakwa, maka dalih yang mendegradasi Pasal 83 (1) secara fakultatif ialah pilihan akrobatik hukum semata. Jika perbuatannya sudah tercela dan didakwa, maka ia menilai tidak perlu dibebankan dengan prasyarat jenis hukuman dan ancaman hukuman.

"Jika dalih hukum ini yang terus dibangun, maka memahami Pasal 83 (1) tidak untuk menegakkan nilai akhlak hukum," ujar Faisal.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement