REPUBLIKA.CO.ID, PURBALINGGA -- Komisi Pemberantasan Kosupsi mengklaim terus memantau dan mengawasi beberapa kepala daerah yang memiliki latar belakang dinasti politik. Wakil Ketua KPK, Basaria Panjaitan tidak menyebutkan telah mendapatkan indikasi kepala daerah berlatar belakang dinasti politik tersebut melakukan tindak korupsi atau tidak. Dia hanya menyebutkan, kepala daerah yang berlatar belakang dinasti politik biasanya mudah terjadi konflik kepentingan.
"Terutama dalam cara memperoleh jabatan politik," kata Basaria Panjaitan, usai memberikan pengarahan pada sosialisasi dan implementasi tindak pidana korupsi di Pendopo Setda Purbalingga, Rabu (22/2).
Menurutnya, jumlah kepala daerah yang brlatar belakang politik dinasti ini cukup banya. Mengutip catatan ICW (Indonesia Corruption Watch), kepala daerah yang berlatar belakang dinasti saat ini ada di 58 daerah. Mengenai jumlah kepala daerah yang ditangkap KPK karena melakukan tindak pidana korupsi, Direktur Gratifikasi KPK Sugiharto yang juga hadir dalam acara itu menyatakan, jumlahnya sudah mencapai 50 orang.
"Yang 50 orang itu, kasus hukumnya sudah berkekuatan hukum tetap," katanya.
Sementara dalam paparan yang disampaikan pada jajaran Muspida Pemkab Purbalingga dan juga dihadiri beberapa bupati di wilayah eks Karesidenan Banyumas, Basaria lebih fokus mengungkapkan mengenai masalah jual beli jabatan di lingkungan pemerintah daerah. Antara lain, seperti yang terjadi dalam kasus OTT Bupati Klaten.
Menurutnya, modus jual beli jabatan yang dilakukan kepala daerah, selama ini diketahui ada tiga cara. Pertama dengan sistem ijon, kemudian dengan model terang-terangan seperti buka warung dan memasang tarifnya, dan modus ketiga dengan kesepakatan antara kepala daerah dan yang meminta jabatan.
Dalam hal modus jual beli jabatan dengan sistem ijon, dilakukan oleh dua pihak sejak awal. Misalnya sejak berlangsung pemilihan kepala daerah, di mana dalam hal pendanaan seorang calon kepala daerah mendapat bantuan dari beberapa aparatur di daerah bersangkutan.
Sedangkan soal modus kedua, menurut Basariah, mirip warung yang menjajakan jabatan secara terang-terangan. Dengan cara ini, maka kepala daerah sudah memasang terif untuk masing-masing jabatan, sepeerti untuk jabatan kepala dinas A sekian rupiah dan kepala dinas B sekian rupiah. "Modus terang-terangan seperti buka warung ini yang kami ungkap dalam OTT di Klaten," jelasnya.
Mengenai modus ketiga, dilakukan dengan cara kesepakatan. Misalnya, kepala daerah setelah melantik seseorang pejabat, harus menyetorkan sejumlah uang dari hasil jabatannya. Basariyah menyatakan, fenomena jual beli jabatan seperti ini, sebenarnya bukan hal baru. Namun fenomena ini belakangan banyak muncul kembali ke permukaan.
"Untuk itu, KPK akan terus intens mengungkap persoalan jual beli jabatan di daerah," kata Basariah.