Senin 20 Feb 2017 04:23 WIB

Sekali Mayor, Tetap Mayor!

Panglima Besar Jenderal Sudirman ditandu selama perang gerilya.
Foto: dok. Anri
Panglima Besar Jenderal Sudirman ditandu selama perang gerilya.

Sekelompok tentara dengan pakaian dinas lapangan loreng, malam itu terlihat riang dan bersemangat. Mereka berjoget di posnya. Merayakan malam terakhir sebagai pasukan Rajawali TNI di Bumi Tanah Rencong. Musik dangdut pun menggema mengirngi para serdadu melepaskan kepenatan.

“Malam ini, malam terakhir bagi kita

Untuk mencurahkan rasa rindu di dada

Esok aku, akan pergi lama kembali

Kuharapkan agar engkau sabar menanti…”

Itulah syair yang berkumandang di wilayah tanggung jawab Korem Teuku Umar, Kodam Iskandar Muda, Aceh. Lagu ciptaan ‘raja’ dangdut, Rhoma Irama berjudul ‘Malam Terakhir’, seperti menjadi lagu wajib bagi prajurit TNI yang akan mengakhiri tugasnya di daerah operasi militer.

Di antara para personel militer itu ada perwira remaja 24 tahun, Letnan Dua (Infanteri) Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), lulusan terbaik Akademi Militer 2000. Ia merupakan putra dari Menko Polhukam, Jenderal (Purn) Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Pada 2002, ia menjabat Komandan Peleton di Batalyon Infanteri Lintas Udara 305/Tengkorak, jajaran Brigif Linud 17 Kostrad. Batalyon itu bertugas untuk melakukan operasi pemulihan keamanan di Aceh.

Di luar batalyon, ia juga sebagai Komandan Tim Khusus (Dan Timsus) yang bertugas melumpuhkan gerilya pasukan Aceh Merdeka. Saat itu Korem Teuku Umar mendirikan media center, untuk menjalin komunikasi dengan media massa. Agus ikut berperan sebagai Public Information Officer (PIO).

Nah, di situlah untuk pertama kalinya, saya mengenal Letda Agus Yudhoyono. Sebagai tentara yang baru dua tahun lulus dari Akademi Militer Magelang, ia kerap memberikan hormat militer, termasuk kepada wartawan yang dianggapnya senior.

“Abang mau ke mana? Saya yang antar,” kata Agus menawarkan diri menjadi sopir, ketika saya hendak menuju Aceh Besar pada akhir 2002. Begitulah cerita singkat perjumpaan dengan Agus di daerah pertempuran.

Di Aceh memang unik. Perangnya seperti perang-perangan alias main-mainan. Namun kalau mati, ya mati beneran. Wartawan pun mesti hapal bunyi senjata berdasarkan jenisnya. Hal ini penting untuk mengetahui senjata siapa yang sedang menyalak.

Bukan cuma diantar oleh TNI ke lokasi tertentu, namun beberapa kali juga diantar oleh Angkatan Gerakan Aceh Merdeka (AGAM). Wartawan harus bisa dekat dengan kedua kelompok yang sedang bertempur. Sudah pastilah dituding oleh GAM sebagai antek TNI. Sebaliknya dituding oleh TNI sebagai antek GAM.

Saya beruntung tidak bergabung dengan rombongan wartawan yang diberangkatkan oleh Mabes TNI. Mereka sudah dilatih sekitar dua pekan di pusat latihan tempur Kostrad, Sangga Buana, Jawa Barat. Mereka juga mendapatkan tanda pengenal khusus.

Saya sudah dapat ilmu itu lebih dahulu pada 1993-1995. Teknik liputan di daerah pertempuran gerilya maupun perang kota. Baik yang terjadi di dalam negeri hingga luar negeri, seperti di Kamboja dan Bosnia. Juga praktik langsung, seperti di Timor Timur dan Papua serta Kamboja dan lain-lain.

Tetapi bukan itu yang hendak saya ceritakan dalam tulisan ini. Saya hanya ingin menulis sesuatu dengan santai dan ringan sebagai bahan bacaan di hari libur. Tidak perlu serius-serius amat. Apalagi soal dukung-mendukung dalam pilkadut (pilkada rasa dangdut).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement