Senin 20 Feb 2017 04:23 WIB

Sekali Mayor, Tetap Mayor!

Panglima Besar Jenderal Sudirman ditandu selama perang gerilya.
Foto:
Pasukan Siliwangi hijrah ke Yogyakarta pada perang kemerdekaan.

Kembali soal Letnan Agus yang kini sudah menjadi bekas Mayor Agus. Jabatan terakhirnya sebagai Komandan Batalyon Infanteri Mekanis 203, Kodam Jayakarta. Mestinya per 1 April 2017 ini, Agus berhak mendapatkan kenaikan pangkat sebagai letnan kolonel.

Namun, ia mengundurkan diri dari dinas militer, banting setir untuk jabatan politik. Agus ingin berkontestasi menjadi Gubernur DKI Jakarta.

Peristiwa sebelumnya juga terjadi pada Mayor (Arhanud) Yoyok Riyo Sudibyo. Ia mengundurkan diri dari dinas militer, karena ingin berkontestasi dalam pemilihan Bupati Batang. Jabatan terakhirnya dalam karier militer sebagai Komandan Satgas Intel BIN di Jayawiyaja, Papua.

Lulusan Akademi Militer 1994 itu ternyata berhasil dan menjadi Bupati Batang, 2012-2017. Dia pun tetap dengan tekadnya hanya maju untuk satu kali saja. Maka, kini dia tidak lagi maju dalam pilkada. Dia pun mendapatkan julukan ‘mayor edan’.

Jabatan gubernur, pastilah termasuk yang diidam-idamkan oleh perwira militer berpangkat mayor jenderal. Dari 15 bekas gubernur Jakarta, delapan berasal dari militer. Semuanya dengan pangkat terakhir letnan jenderal.

Hanya Daan Jahja saja yang berpangkat letnan kolonel. Saat itu Indonesia dalam keadan darurat, sehingga Wakikota Jakarta diserahkan dari Suwiryo kepada Letkol Daan Jahja, Panglima Siliwangi. Maka jabatannya sebagai Gubernur Jenderal Jakarta pada 1949-1951. Pangkat terakhir Daan sebagai brigadir jenderal.

Selain Daan, umumnya ketika menjabat Gubernur Jakarta, pangkatnya mayor jenderal. Bukan mayor, apalagi sersan mayor.

“Ahh, yang penting masih ada mayornya,” kata Jenderal Naga Bonar kepada Lukman, setelah siuman. Ia pingsan ketika pangkatnya diturunkan dari mayor menjadi sersan mayor.

Hukuman diberikan kepada Lukman setelah terbukti menghamili seorang gadis kampung, bernama Jamilah. Begitulah secuil kisah dalam film Naga Bonar, karya Asrul Sani pada 1987. Salah satu film terbaik Indonesia yang berulang kali saya lihat, sehingga hapal jalan cerita serta sejumlah dialognya.

Mayor Lukman, tokoh rekaan dalam film tersebut adalah otak dari pasukan yang dipimpin Jenderal Naga Bonar. Film ini berkisah tentang perlawanan tentara saat melawan penjajahan Belanda di Lubuk Pakam. Terinspirasi dari kisah perjuangan tokoh Karo, Payung Bangun, komandan Barisan Harimau Liar.

Mayor berasal dari pangkat majoor dalam ketentaraan Hindia Belanda atau het Koninlijke Nederlands(ch)-Indische Leger (KNIL). Orang pribumi Hindia Belanda atau Indonesia yang pernah mencapai pangkat ini, pada masa itu hanya satu orang, yaitu: Urip Sumohardjo.

Mayor memang pangkat terendah untuk golongan perwira menengah. Tetapi kalau kita belajar musik, pastilah tahu tangga nada mayor.

Kebetulan saat di SMP Katolik Budi Mulia ‘Desa Putra’ Jakarta, pada 1980-1983, saya mendapatkan pelajaran musik dari seorang bruder asal Belanda. Namanya Bruder Dagobert Vlej, dari ordo Katolik atau kongregasi Budi Mulia (BM). Biasa dipanggil dengan sebutan Bruder Dago.

“Solmisasi: Do-re-mi-fa-sol-la-si-do. Itulah tangga nada mayor. Tangga nada yang paling terkenal di dunia, sudah ribuan bahkan jutaan lagu populer yang tercipta dari tangga nada tersebut,” kata Bruder Dago.

Ciri-ciri tangga nada mayor, kata dia, antara lain bersifat riang gembira dan bersemangat.

Nah, barangkali pula, para tentara berpangkat mayor terlihat gembira dan bersemangat. Sampai lupa bahwa jabatan itu belum waktunya untuk diperoleh.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement