REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Mahkamah Agung (MA) Hatta Ali mengatakan bahwa MA harus memerhatikan dampak dan konsekuensi dari fatwa hukum yang dikeluarkan. Dia mengatakan, hal tersebut ketika disinggung tentang permohonan penerbitan fatwa hukum oleh Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo terkait dengan kasus Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).
"MA kalau mengeluarkan fatwa harus berhati-hati karena mempertimbangkan dampak positif dan negatif dalam menerbitkan fatwa," ujar Hatta dalam jumpa pers di gedung MA, Jakarta, Selasa (14/2).
Meskipun fatwa hukum tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, Hatta berpendapat bahwa fatwa hukum yang dikeluarkan oleh MA dapat mengganggu independensi hakim yang sedang menyidang perkara terkait dengan fatwa hukum tersebut.
"Kami harus menjaga independensi hakim yang sedang menyidangkan perkara itu, tidak boleh mencampuri perkara yang ada di pengadilan," kata Hatta.
Lebih lanjut Hatta mengatakan bahwa selama menjabat sebagai ketua MA periode 2012 hingga 2017, Hatta mengaku sangat jarang mengeluarkan fatwa hukum. "Karena ya itu tadi, fatwa itu bisa mengurangi independensi hakim serta bisa ditebak oleh pihak yang sedang beperkara," kata Hatta.
Pada hari yang sama, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menyerahkan surat kepada Ketua MA Hatta Ali, yang isinya permohonan fatwa hukum terkait kasus Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).
"Kami meminta bantuan MA terkait dengan apa yang akan Kemendagri putuskan berkaitan dengan kasus terdakwa Gubernur DKI Jakarta saudara Basuki," kata Tjahjo.
Tjahjo mengatakan, pihaknya selaku pemerintah perlu menunggu tuntutan dari Jaksa Penuntut Umun di pengadilan, untuk mengambil keputusan apakah Ahok akan diberhentikan sementara atau tidak.
Namun, dakwaan yang diregister di pengadilan masih memiliki pasal alternatif dengan dua tuntutan hukuman yang berbeda yaitu empat tahun dan lima tahun. Fatwa hukum MA, kata Tjahjo, akan menjadi pembanding atas tuntutan tersebut.