REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) Partai Demokrat, Didi Irawadi Syamsuddin menegaskan dugaan kuat pihak Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) melakukan penyadapan sudah terang benderang dan tidak bisa dipungkiri.
Menurutnya dari pernyataan pihak Ahok, yang menyatakan memegang bukti atau tranksrip atau apapun namanya yang menyatakan ada percakapan antara Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan Ketua MUI KH Ma’ruf Amin, makin memperjelas dugaan penyadapan ilegal telah dilakukan oleh pihak Ahok.
''Pihak Ahok juga secara detail menyebut tanggal 6 Oktober jam 10.16. Ini artinya makin memperkuat dan mempertegas dugaan pihak Ahok menyadap,'' ujarnya dalam siaran persnya, Jumat (3/2).
Didi menjelaskan, ancaman terhadap pelanggaran hukum penyadapan tidak main -main, yakni pidana penjara10 tahun. Dalam Pasal 47 UU ITE menyatakan, pelanggaran tentang penyadapan diancam hukuman maksimal 10 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 800 juta.
Sehingga, ia meminta Polri untuk proaktif dalam kasus penyadapan tersebut. Sebab, kasus tersebut tidak membutuhkan aduan dari korban atau pihak yang dirugikan.
''Itu bukan delik aduan. Penyadapan itu melawan negara dan masyarakat Indonesia. Penyadapan ilegal adalah kejahatan,'' jelasnya.
Oleh karenanya, ia menegaskan hukum harus ditegakkan, setiap warga negara harus mendapatkan perlakuan yang sama di muka hukum. Kalau polisi tidak segera bergerak untuk memeriksa pihak Ahok, maka polisi telah tebang pilih dalam menangani suatu kasus dan menempatkan Ahok sebagai warga negara istimewa di mata polisi.
''Keadilan harus ditegakkan, setiap warga negara adalah equal di mata hukum, tidak terkecuali Ahok yang saat ini sebagai pejawat Gubernur DKI Jakarta,'' katanya.