Selasa 24 Jan 2017 08:55 WIB

Soal Tulisan di Bendera, Yusril: Penahanan Nurul Fahmi Berlebihan

Rep: Qommarria Rostanti/ Red: Andi Nur Aminah
Yusril Ihza Mahendra
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Yusril Ihza Mahendra

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra mengatakan sebagian besar masyarakat belum mengetahui aturan soal bendera negara. Masyarakat masih banyak yang belum mengetahu bahwa tindakan menulis atau menggambar bendera merah putih dilarang dan dapat dipidana.   

Yusril menyebut ketidaktahuan itu juga ada di kalangan pejabat birokrasi pemerintah dan bahkan pada aparat penegak hukum sendiri. "Coba saja search di internet, niscaya adanya tulisan pada bendera negara itu akan kita dapati dalam jumlah sangat banyak," ujarnya dalam keterangan tertulis, semalam. 

Yusril mengingat jauh sebelum adanya UU No 24 Tahun 2009, adanya tulisan-tulisan pada bendera Indonesia dilakukan tatkala umat Islam dari Tanah Air menunaikan ibadah haji. Biasanya, kata dia, bendera itu dikibarkan oleh ketua rombongan agar jamaah tidak tersesat dan terpisah dari rombongan. Sekarang pun hal itu masih terjadi. 

Dia pernah memberitahu ketua sebuah rombongan umrah bahwa menulis sesuatu pada bendera itu dilarang undang-undang dan dapat dihukum. Mereka pun terkejut dan mengatakan sama sekali tidak mengetahui hal itu.

Yusril mengatakan pengenaan pasal 66 terhadap apa yang dilakukan Nurul Fahmi adalah sesuatu yang berlebihan. Pasalnya pasal 66 bisa dikenakan terhadap mereka yang dengan sengaja merusak, merobek, menginjak-injak, membakar dan seterusnya dengan maksud untuk menodai, menghina, atau merendahkan kehormatan bendera negara. "Fahmi sama sekali tidak melakukan ini. Dia hanya membawa bendera merah putih yang ditulisi kalimat tauhid dan digambari pedang bersilang," kata Yusril. 

Karena itu, pasal yang tepat dikenakan untuk Fahmi adalah pasal 67 huruf c yakni menulis huruf atau tanda lain pada bendera negara. Menurut Yusril, polisi nampak dengan sengaja mengenakan pasal 66 yang lebih berat kepada Fahmi. Padahal itu diduga tidak dia lakukan. 

Sementara terhadap apa yang dilakukannya, yang seharusnya dikenakan Pasal 67 huruf c, justru dijadikan subsider. "Selain membolak-balik pasal dalam kasus Fahmi, tindakan penahanan terhadap Fahmi juga dapat dianggap sebagai tindakan berlebihan. Sebab ancaman pidana dalam pasal 66 itu bukan di atas lima tahun, melainkan selama-lamanya lima tahun," ujarnya. 

Yusril menyarankan polisi hendaknya mendahulukan langkah persuasif kepada setiap orang yang diduga melanggar pasal 67 huruf c, sebelum mengambil langkah penegakan hukum. Sebab langkah penegakan hukum atau langkah serupa harus dilakukan terhadap siapa saja yang melakukan pelanggaran yang sama. Bahkan langkah penegakan hukum itu harus pula dilakukan terhadap aparat penegak hukum sendiri yang juga patut diduga melakukan pelanggaran yang serupa.

Yusril mengatakan apabila langkah penegakan hukum itu hanya dilakukan terhadap Fahmi, terlepas dia anggota FPI atau bukan, maka terkesan penegakan hukum ini terkait langsung maupun tidak langsung terhadap FPI. Sementara perorangan yang terkait dengan ormas-ormas yang lain yang melakukan hal yang sama, belum ada langkah penegakan hukum apapun juga.

Yusril mengimbau polisi bersikap obyektif dan mengambil langkah hukum yang hati-hati. Hal tersebut bertujuan mencegah kesan yang kian hari kian menguat bahwa polisi makin menjauh dari umat Islam, dan sebaliknya makin melakukan tekanan. 

Menurut dia, tidak semua orang, bahkan di kalangan umat Islam sendiri, setuju dengan langkah-langkah yang diambil oleh FPI dalam segala hal. Hal itu normal dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. 

"Namun menjauh dari Islam dan umatnya, tidak akan membuat negara ini makin aman dan makin baik. Karena itu, hikmah kebijaksanaanlah yang harus ada dan dikedepankan demi menjaga persatuan dan kesatuan bangsa," ujarnya.

 (Baca Juga: Polri Diminta Pertimbangkan Kondisi Keluarga Nurul Fahmi)

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement