Rabu 18 Jan 2017 18:37 WIB

Pakar Hukum: Tuntutan Jaksa Tentukan Nasib Jabatan Ahok

Rep: Ahmad Islamy Jamil/ Red: Ilham
Terdakwa kasus penistaan agama, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) saat menjalani sidang.
Foto: Republika/Pool/Dharma Wijayanto
Terdakwa kasus penistaan agama, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) saat menjalani sidang.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar hukum tata negara dari Universitas Indonesia (UI), Budi Darmono mengatakan, status terdakwa yang disandang Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dalam kasus dugaan penodaan agama bisa saja menghalanginya untuk kembali menjabat gubernur DKI Jakarta pada 12 Februari mendatang. Kondisi semacam itu hanya berlaku bila tuntutan yang diberikan jaksa terhadap Ahok berupa pidana penjara lima tahun atau lebih.

"Jadi, untuk mengetahui seperti apa nasib jabatan Ahok setelah masa cuti kampanyenya habis, harus menunggu isi tuntutan jaksanya dulu," ujar Budi kepada Republika.co.id, Rabu (18/1).

Masa cuti kampanye Ahok untuk Pilkada 2017 akan berakhir pada 11 Februari nanti. Sesuai aturan perundang-undangan yang berlaku, dia seharusnya kembali menjalankan tugasnya sebagai gubernur DKI hingga akhir masa jabatannya pada Oktober nanti.

Namun demikian, Pasal 83 UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah menyebutkan, seorang kepala daerah akan dinonaktifkan dari jabatannya jika didakwa melakukan tindak pidana kejahatan dengan ancaman hukuman paling singkat lima tahun penjara, tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, dan/atau makar. Kepala daerah juga akan dinonaktifkan jika didakwa melakukan tindak pidana terhadap keamanan negara, dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Menurut Budi, dari seluruh jenis dakwaan yang disebutkan dalam Pasal 83 UU No 23/2014 di atas, satu-satunya alasan yang bisa membuat Ahok dinonaktifkan dari jabatan gubernur hanya dakwaan melakukan tindak pidana kejahatan dengan ancaman hukuman paling singkat lima tahun. Pasalnya, dakwaan yang dituduhkan kepada Ahok di pengadilan saat ini hanya pidana penistaan agama, bukan kejahatan lainnya seperti korupsi, terorisme, tindak pidana terhadap keamanan negara, dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

"Ahok itu kan cuma dituduh melakukan penistaan agama, bukan memecah belah NKRI atau makar segala macam. Jadi, apa yang disampaikan oleh Mendagri (Tjahjo Kumolo) sudah benar, pemerintah mesti menunggu tuntutan jaksa dulu untuk menindaklanjuti kasus Ahok. Jika ternyata tuntutannya adalah pidana lima tahun, ya Ahok harus dinonaktifkan (dari jabatan gubernur) dan digantikan oleh wakilnya, yaitu Pak Djarot (Djarot Saiful Hidayat)," kata Budi.

Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo sebelumnya menuturkan, instansinya belum lagi menentukan nasib jabatan Ahok apabila masa cuti kampanye sang pejawat untuk Pilkada 2017 berakhir pada 11 Februari mendatang. Menurut dia, pemerintah harus melihat dulu seberapa jauh kasus dugaan penistaan agama bakal menjerat Ahok.

Bila tuntuan pidana yang diminta Jaksa Penuntut Umum (JPU) nantinya ternyata di bawah lima tahun, kata Tjahjo, Ahok tetap bisa kembali menjabat sebagai gubernur DKI pada 12 Februari nanti.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement