REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menilai belum ada dukungan secara maksimal dari pemerintah pusat dan daerah dalam pencegahan tindak kekerasan seksual terhadap anak dan perempuan. Komentar tersebut merujuk pada adanya sejumlah kasus kekerasan seksual yang menimpa anak-anak dan perempuan di beberapa daerah. Padahal, pemerintah telah mengesahkan UU Nomor 17 Tahun 2016 tentang perlindungan anak.
"Korban makin banyak bertambah, karena dari pemerintah pusat dan daerah belum maksimal melakukan gerakan secara nasional pencegahannya," kata Kepala Divisi Sosialisasi Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Erlinda saat dihubungi, Senin (16/1).
Selain itu, ia melanjutkan, pemerintah belum menyosialisasikan UU Perlindungan Anak yang baru. "Jadi dalam arti kata, penegakan hukum sendiri belum tampak terlihat," ujar dia.
Menurut Erlinda, yang perlu menjadi perhatian, yakni kenapa marak pelaku kejahatan seksual masih berusia anak-anak. Ia menduga, hal tersebut disebabkan, mereka merupakan korban yang belum tuntas atau belum direhabilitasi.
Erlinda menyebut, banyak hal yang dapat dimaksimalkan dalam pencegahan terjadinya kejahatan seksual. Salah satunya, yakni memaksimalkan peran orang tua. "Kita belum bisa memaksimalkan peran orang tua. Padahal mereka yang paling bertanggung jawab," tutur dia.
Menurutnya, banyak orang tua yang tidak mempunyai keterampilan bagaimana melindungi anak di era globalisasi. Sehingga, menurut Erlinda, PR panjang tersebut harus menjadi gerakan nasional. Selain itu, para pendidik harus mengajarkan pada para siswa bagaimana menjaga diri, reproduksi dan lain-lain. Sekolah harus membangun komunikasi yang ramah anak.
"Artinya yang paling bertanggung jawab adalah pemerintah yang paling dekat, yaitu pemda. Kita dorong pemda yang punya program pencegahan kekerasan seksual terhadap anak. Nanti diadaptasi pemerintah yang lebih kecil," tutur dia.