Sabtu 14 Jan 2017 08:23 WIB

Indonesia Dinilai Masih Hadapi Darurat Kesenjangan Sosial

Rep: Qommarria Rostanti/ Red: Hazliansyah
Salah satu potret kemiskinan di ibukota (ilustrasi).
Foto: Republika/Aditya Pradana Putra
Salah satu potret kemiskinan di ibukota (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia dinilai masih menghadapi darurat kesenjangan dan ketimpangan ekonomi yang sangat lebar. Klaim penurunan kesenjangan ekonomi oleh pemerintah harus dilihat secara obyektif dan hati-hati.

Anggota Komisi IX Ecky Awal Muharam mengatakan, harus diakui bahwa angka gini ratio atau tingkat kesenjangan yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) pada Maret 2016 menunjukkan adanya penurunan ketimpangan pengeluaran. Namun angka penurunannya masih sangat kecil, di mana gini ratio hingga Maret 2016 sedikit mengalami penurunan menjadi 0,397 dibanding September 2015 yang berada di level 0,402 dan Maret 2015 sebesar 0,408.

"Ini masih jauh dari target yang telah ditetapkan dalam APBN-P 2016 sebesar 0,39,” kata Ecky di Jakarta, Jumat (13/1).

Dia mengingatkan bahwa sejumlah klaim pemerintah terkait membaiknya ketimpangan perlu dikritisi secara obyektif dan lebih mendalam. Setidaknya, menurut dia, terdapat beberapa hal yang perlu dijadikan catatan.

Pertama, gini ratio bukan satu-satunya indikator untuk melihat ketimpangan yang ada di Indonesia. Kedua, apabila menggunakan indikator gini ratio, pemerintah perlu memperhatikan kondisi masyarakat dengan pengeluaran 40 persen terendah.

"Sejumlah indikator ketimpangan selain gini ratio menunjukkan kondisi yang mengkhawatirkan. Ketimpangan pendapatan dan penguasaan kekayaan jauh lebih buruk," ujarnya.

Berdasarkan data //Global Wealth Report// yang dibuat oleh Credit Suisse’s, Indonesia menempati peringkat ke-4 negara paling timpang di dunia, di mana 1 persen orang terkaya menguasai 49,3 persen kekayaan nasional. Ini menunjukkan bahwa distribusi pendapatan masih sangat buruk dan belum berjalan dengan baik.

Terkait dengan indikator gini ratio, Ecky mengingatkan agar pemerintah melihat perkembangan masyarakat dengan pengeluaran 40 persen terendah yang terus merosot.

Pada maret 2015, kontribusi pada kelompok tersebut mencapai 17,1 persen, dan mengalami penurunan menjadi 17,02 persen pada Maret 2016. Angka tersebut terus memburuk dibandingkan dengan kondisi pada 2008 yang mencapai 18,72 persen.

"Jadi pada masyarakat terbawah kondisinya semakin memburuk,” kata politikus dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini.

Ecky mengatakan kesenjangan harus segera diatasi. Pasalnya jika tidak, dapat menganggu pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kerawanan sosial.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement