Sabtu 10 Dec 2016 07:54 WIB

Korban Gempa Masih Dihantui Trauma

Psikolog anak Kak Seto mengajak pengungsi anak korban gempa bermain sambil menyanyi di pengungsian, Pidie jaya, NAD, Jumat (9/12).
Foto: Republika/ Wihdan Hidayat
Psikolog anak Kak Seto mengajak pengungsi anak korban gempa bermain sambil menyanyi di pengungsian, Pidie jaya, NAD, Jumat (9/12).

REPUBLIKA.CO.ID, ACEH -- "Allahu Akbar.... Astagfirullahal'adzim,". Lantunan takbir dan istighfar tak lepas dari bibir Dewi, perempuan berusia awal 30-an saat bumi kembali berguncang.

Dewi yang tengah menidurkan bayinya, Raisya Zahara yang baru berusia dua bulan terlihat pasrah. Tampak gurat-gurat kelelahan di wajahnya yang kurus karena sudah beberapa malam pascagempa dia sulit memejamkan mata.

Dia terduduk di atas terpal yang menjadi lantai tenda biru bantuan dari Kementerian Sosial untuk para pengungsi korban gempa di posko pengungsian Masjid Al Istiqamah di Desa Rhieng, Kecamatan Meureudu, Kabupaten Pidie Jaya, Provinsi Aceh. Saat bumi bergetar, refleks tubuhnya menegang, namun ibu dua anak tersebut tampak pasrah dan tidak berusaha bangkit dari duduknya karena ada bayi yang tengah berusaha ia tidur di pangkuannya.

Berbeda dengan sejumlah pengungsi yang setenda dengan Dewi, mereka buru-buru bangkit dari duduknya karena panik. Kepanikan juga dirasakan Meli yang buru-buru duduk di bawah tenda sambil menggenggam erat tangan kedua putrinya. Raut mukanya tegang dan kaku, begitu juga wajah kedua putrinya yang masih duduk di bangku sekolah dasar.

"Masih sering gempa, jangankan anak-anak kita saja yang tua juga takut. Masih trauma," kata Meli setelah bisa menguasai diri dari rasa panik yang menyerang.

Gempa susulan masih terus dirasakan pascagempa bumi dengan magnitudo 6,5 pada skala Richter yang terjadi Rabu (7/12) menjelang subuh. Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mencatat gempa dengan magnitudo 5.0 SR pada Jumat (9/12) pukul 16.49 WIB itu yang mengejutkan Dewi dan warga Pidie Jaya lainnya. BMKG juga mencatat kekuatan gempa bumi susulan pascagempa yang menimbulkan 103 korban jiwa dan 8.000-an orang korban luka-luka baik ringan maupun luka berat semakin mengecil.

Meski kekuatan gempa terus mengecil sejak gempa pertama yang merusak tersebut, namun warga yang menjadi korban masih mengalami trauma dan panik ketika gempa susulan terjadi. Hal itulah yang menyebabkan kenapa jumlah warga di posko pengungsi meningkat pada malam hari karena warga tidak berani tidur di rumahnya.

Seperti di posko Masjid Al Istiqamah, jumlah pengungsi yang terdata sebanyak 1.100 jiwa, namun pada malam hari bertambah karena warga yang rumahnya tidak rusak atau hanya mengalami rusak ringan lebih memilih tidur di tenda pengungsian karena khawatir sewaktu-waktu gempa kembali mengguncang.

Untuk menghilangkan trauma terhadap bencana, Kementerian Sosial menurunkan tim psikososial yang memberikan penyembuhan trauma (trauma healing) dan trauma konseling. Tim trauma healing juga mendirikan "Pondok Anak Ceria" di posko-posko pengungsi. Di Pondok Anak Ceria tersebut, anak-anak nantinya diajak belajar, bermain, bernyanyi, dan berbagai kegiatan kesenian lainnya sebagai bentuk terapi. Terapi tersebut bertujuan untuk menghibur anak-anak sehingga mereka kembali bahagia dan lupa akan kesedihan akibat gempa.

Pondok Anak Ceria, dikelola oleh para profesional yang terdiri dari psikolog, mahasiswa dan relawan yang berkonsentrasi terhadap psikososial dan pertumbuhan anak ditengah bencana, guna mendukung dan memahami kebutuhan anak. Sejak hari pertama bencana, Kemensos sudah mengirimkan tim terapi psikososial dan hingga saat ini sudah tiga tim yang diturunkan dengan melibatkan pemerhati anak, Kak Seto dan rekannya Kak Henny.

Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa yang meninjau langsung ke posko pengungsi menyatakan penerapan terapi psikososial sudah sejak lama dilakukan Kementerian Sosial dan dalam bencana apapun. Pemulihan trauma menurut dia harus dilakukan seiring dengan proses tanggap darurat, bukan setelahnya karena saat-saat pascabencana para korban akan berada dalam kondisi labil dan kehidupan yang tidak jelas apalagi jika mengalami kehilangan keluarga saat bencana dan harus mengungsi.

Bahkan Kemensos juga sudah mendeklarasikan Taruna Siaga Bencana (Tagana) psikososial yang mempunyai keahlian dalam menangani masalah terkait psikologis. Dari 33.000 anggota Tagana di seluruh Indonesia, terdapat 5.800 Tagana Psikososial yang siap diterjunkan ke lokasi bencana.

sumber : antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement