REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Alghiffari Aqsa menyayangkan ancaman hukuman pidana mati dalam maklumat Kapolda Metro Jaya untuk menyikapi rencana aksi 2 Desember 2016.
"Ancaman itu menunjukkan Polri dan pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla tidak malu dengan hukuman mati yang merupakan hukuman yang kejam dan tidak berperikemanusiaan," kata Ghiffari melalui pesan singkat di Jakarta, Rabu (23/11).
Ghiffari mengatakan sebagai negara demokrasi, Indonesia seharusnya meninggalkan hukuman mati. Namun, bukannya meninggalkan hukuman mati, salah satu pimpinan Polri malah mengancam dengan hukuman mati dalam maklumat tentang penyampaian pendapat di muka umum.
"Itu menunjukkan pidato Presiden Jokowi di Australia pada Oktober lalu, yang mengatakan Indonesia akan mengevaluasi hukuman mati hanya sekadar lip service saja," tuturnya.
Menurut Ghiffari, dalam demokrasi di era reformasi justru aparat keamanan yang lebih sering melakukan pelanggaran hukum. Contohnya adalah tindakan pembubaran paksa aksi demonstrasi buruh pada 30 Oktober 2015. Saat membubarkan aksi buruh 30 Oktober 2015 itu, polisi menangkap 23 aktivis buruh, satu mahasiswa dan dua pengabdi hukum LBH Jakarta.
Selain membubarkan paksa, Ghiffari mengatakan polisi juga melakukan kekerasan dengan memukul para aktivis, termasuk empat buruh perempuan, dan merusak mobil komando serikat buruh. Padahal, saat itu aksi dilakukan dengan damai.
"LBH Jakarta mengapresiasi Polri atas larangan provokasi yang mengarah kepada sentimen terhadap suku, agama, ras dan antargolongan (SARA). Ujaran kebencian dan sentimen SARA yang mengarah pada serangan kepada etnis tertentu merupakan tindakan yang bertentangan dengan semangat demokrasi," tuturnya.
Kepala Polri Jenderal Polisi Tito Karnavian telah mengeluarkan pernyataan melarang aksi lanjutan pada 2 Desember 2016. Kepala Polda Metro Jaya Irjen Polisi Mochamad Iriawan juga telah mengeluarkan maklumat Mak/04/XI/2016 tentang Penyampaian Pendapat di Muka Umum.