Kamis 10 Nov 2016 17:15 WIB

Pengamat: Tak Perlu Ada Niat Menghina di Delik Penistaan Agama

Rep: Amri Amrullah/ Red: Bilal Ramadhan
Calon Gubernur DKI Jakarta nomor urut 2 Basuki Tjahaja Purnama atau yang biasa dipanggil Ahok keluar dari ruangan seusai menjalani pemeriksaan di Mabes Polri, Jakarta, Senin (7/11).
Foto: Republika/ Raisan Al Farisi
Calon Gubernur DKI Jakarta nomor urut 2 Basuki Tjahaja Purnama atau yang biasa dipanggil Ahok keluar dari ruangan seusai menjalani pemeriksaan di Mabes Polri, Jakarta, Senin (7/11).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Hukum Pidana, Teuku Nasrullah menegaskan bahwa delik penistaan agama dalam KUHP pasal 156a tidak diperlukan 'Ada Niat' untuk menghina satu agama. Walaupun kata dia,  Dlm pasal 156 a itu tercantum unsur "dengan sengaja" dan "dengan maksud".

"Kesengajaan di sini paling sedikit adanya Bewuste Schuld, dan tdk perlu adanya 'animus in juriandi', yakni 'niat untuk menghina'. Animus in Juriandi itu ditempatkan dlm konteks Mens Rea dan Delik Materil bentuknya," ujar Nasrullah dalam Diskusi Publik 'Kasus Ahok Nista Islam, dalam Perspektif Hukum Pidana' di kawasan Gondangdia, Jakarta Kamis (10/11).

Ia menjelaskan, Penistaan agama diatur dlm buku 2 BAB XVI KUHP dibawah Bab Ketertiban Umum. Menurut Nasrullah ada cerita mengapa Penistaan Agama masuk dalam kategori Ketertiban Umum dalam KUHP.

Pada awalnya, ungkap dia, dalam KUHP tidak diatur delik yang berkenaan dengan penistaan agama, yang ada adalah delik penistaan Golongan (Pasal 156). Namun pada tahun 1960an, terjadilah kasus orang PKI menginjak-injak Alquran, yang membuat umat Islam marah pada saat itu.

Namun sulit dibawa ke ranah hukum karena adanya kekosongan hukum. Untuk meanmpung aspirasi umat Islam saat itu, Presiden Soekarno akhirnya menerbitkan Penpres. "Berdasarkan Pasal 4 Penpres No. 1 Tahun 1965 dimasukkanlah Pasal 156a kedalam KUHP yang diselip diantara pasal 156 dan 157 dalam rangka melindungi kenyamanan ummat beragama," kata dia.

Di dalamnya disebutkan unsur 'dengan sengaja', merujuk kepada putusan Mahkamah Agung RI (MARI), perbuatannya tersebut itu saja sudah diartikan 'dalam bentuk penghinaan' (MARI no.37K/Kr/1957.21.12.1957 juncto no.71K/Kr/1973.14.7.1976).

Karena, itulah yang terjadi pada kasus Arswendo Atmowilotoyang dituduh telah menghina Nabi Muhammad SAW melalui surveinya pada tahun 1990. Dan kasus Rusgiani di Bali pada 2012.

Ia melanjutkan, dalam Hukum pidana mewajibkan jika ada kejahatan (misdrijven), penegak hukum segera melakukan upaya preventif dan wajib langsung bekerja begitu ada ancaman terhadap kepentingan/ketertiban umum muncul. Misalnya pada tindakan menghasut, penghujatan terhadap agama.

Dalam hukum pidana Belanda tindak pidana penghujatan terhadap agama, bahkan Penuntut Umum tidak perlu membuktikan tentang adanya perasaan ketuhanan atau keagamaan masyarakat yang tersinggung. Delik menista agama itu salah satu tujuannya adalah untuk melindungi kepentingan publik atau adanya keresahan masyarakat.

"Sudah menjadi Yurisprudensi bahwa meskipun pelakunya menyatakan tidak dengan sengaja atau tidak mempunyai maksud menista agama, Tuhan atau Nabi, namun Mahkamah Agung tetap menghukum yang bersangkutan, asalkan dapat dibuktikan bahwa tulisan, lisan, atau perbuatan orang tersebut dengan menggunakan akal yang layak, sewajarnya atau sepatutnya dapat memperkirakan bahwa tulisan, lisan atau perbuatannya itu sangat berpotensi menimbulkan keresahan, reaksi atau gangguan ketertiban umum," jelas Nasrullah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement