Senin 07 Nov 2016 08:38 WIB

Gelar Perkara Kasus Ahok Bisa Menjadi Pedang Bermata Dua

Rep: Qommarria Rostanti/ Red: Nidia Zuraya
Ahok bersama tiga tim suksesnya, yaitu Charles Honoris, Prasetyo Edi Marsudi, dan Yunarto Wijaya.
Foto: ist
Ahok bersama tiga tim suksesnya, yaitu Charles Honoris, Prasetyo Edi Marsudi, dan Yunarto Wijaya.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gelar perkara secara terbuka yang hendak dilakukan Polri untuk mengusut kasus dugaan penistaan agama oleh Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjaha Purnama (Ahok) dinilai bisa menjadi pedang bermata dua. Mengapa demikian?

Komisi Kumdang Majelis Ulama Indonesia (MUI) M Luthfie Hakim mengatakan dalam gelar perkara terbuka berpotensi terjadi trial by the press atau peradilan dengan penggunaan media yang bersifat publikasi massa. 

Dia menyebut dengan dilakukan gelar perkara secara terbuka, jika nanti saksi dan ahli keterangannya lebih menguatkan tuduhan bahwa Ahok telah melakukan delik penistaan agama (Islam), maka kesimpulan yang dihasilkan dari gelar perkara terbuka itu dapat langsung menjadi vonis bersalah bagi Ahok ala trial by the press

"Masyarakat akan sulit menerima bila kelak Majelis Hakim pemeriksa perkara menyatakan Ahok tidak bersalah, apalagi bila saksi dan ahli yang memberikan keterangan dalam gelar perkara terbuka ternyata ketika di ruang sidang memberikan keterangan yang berbeda," ujarnya, Senin (7/11). 

Padahal keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan (pasal 185 ayat (1) KUHAP). Masyarakat, kata dia, bisa saja menganggap persidangan telah direkayasa.

Gelar perkara jenis tersebut juga dinilai berpotensi memicu distrust (ketidakpercayaan). Luthfie mengatakan dalam gelar perkara terbuka, apabila keterangan saksi atau ahli cenderung melemahkan tuduhan bahwa Ahok telah melakukan penistaan agama, maka kesimpulan yang dihasilkan dari gelar perkara terbuka adalah keseluruhan rencana dan prosesnya tampak seperti parodi yang tidak lucu. 

"Membangkitkan distrust meluas di masyarakat akan ketidakadilan dalam penegakan hukum oleh aparat kepolisian ataupun penggunaan kekuasaan secara sewenang-wenang (abuse of power) untuk melepaskan seseorang dari jerat hukum," kata dia. 

Bahkan pusat pemerintahan dapat terkesan melakukan obstruction of justice (suatu tindakan seseorang yang menghalang-halangi proses hukum) dengan berbagai dalih yang muaranya dapat memicu gelombang aksi bela Alquran jilid III. 

"Bila itu yang terjadi, maka bersiaplah menghadapi tsunami politik tingkat tinggi di negeri ini," ujar Luthfie.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement