REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- SNH Advocacy Center, sebuah lembaga kemanusiaan yang bergerak dalam bidang sosial, kemanusiaan, advokasi hukum dan hak asasi manusia meminta pertanggungjawaban atas tindakan represif aparat kepolisian di aksi Jumat 4 November lalu.
Direktur Eksekutif Network for Human Rights (SNH) Advocacy Center, Sylviani Abdul Hamid mengatakan aksi Damai Bela Islam pada Jum'at kemarin sempat diwarnai kericuhan. Adu fisik antara massa dari sekelompok atau oknum Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dengan aparat kepolisian tak terhindarkan.
Walaupun pihak aparat telah mengamankan pelaku yang diduga sebagai provokator, namun SNH Advocacy Center juga meminta pertanggung jawaban kepada aparat. Sylvi mengatakan setelah bentrok fisik terjadi pihak kepolisian menembakan gas air mata ke arah para peserta aksi.
"Sebelumnya memang ada gesekan, tapi telah selesai, tiba-tiba polisi menembakan gas air mata ke arah kami," kata Sylvi, advokat yang tergabung dalam Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) MUI, dalam keterangan tertulisnya, Ahad (6/11).
Tampak di lokasi banyak korban yang terkena gas air mata, termasuk K.H. Bachtiar Nasir. "Sedari awal sudah kami sampaikan aksi ini aksi damai, pemegang komando para alim ulama, kami akan melakukan klarifikasi atas malprosedur pihak kepolisian yang menembakan gas air mata ke peserta aksi," tegasnya.
Kepada presiden, ia pun menilai seharusnya Presiden Joko Widodo bertanggung jawab. Sebab selaku Presiden besar harapan perwakilan pendemo bisa berbicara langsung kepada presiden. Tapi presiden ternyata tidak mau menerima utusan dari para peserta aksi. "Kalau diterima dengan baik-baik, tidak akan terjadi adu fisik," katanya.