Ahad 28 Aug 2016 09:38 WIB

Cerita Kreatif di Balik Mukidi

Rep: Kabul Astuti/ Red: Winda Destiana Putri
Cerita Mukidi (Ilustrasi)
Foto: IST
Cerita Mukidi (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, BEKASI -- Mukidi mendadak viral di jagad maya. Tak dinyana, kisah ini sebenarnya sudah hidup selama dua dekade. Lantas, bagaimana proses kreatif di balik banyolan-banyolan khas Mukidi? Dari mana datangnya ide tiap-tiap kisah Mukidi?

Ditemui di rumahnya, Kompleks Jatibening I Kota Bekasi, pencipta tokoh Mukidi, Soetantyo Moechlas (62 tahun), menuturkan proses kreatifnya. Kisah Mukidi pertama kali muncul tahun 1990-an. Saat itu, Soetantyo rajin mengirimkan cerita-cerita ke acara Ida Krishna Show di radio Prambors. Nama Mukidi, menurutnya, gampang diingat dan sangat Jawa.

Mukidi awalnya beredar memecah gelak tawa dari ruang-ruang pelatihan. "Saya waktu itu menggunakan joke itu untuk ice breaker karena saya seorang trainer. Saya sering presentasi, saya harus mencari sesuatu yang bisa membuat suasana hidup. Orang nggak bosan. Jadi saya bikin lelucon yang bisa memancing mereka untuk segar," tutur Soetantyo, kepada Republika, Sabtu (27/8) petang.

Hingga kini, kisah Mukidi sudah terhitung ribuan. Ide lelucon Mukidi diambil dari kehidupan sehari-hari. "Itu dari kehidupan sehari-hari aja, dari lingkungan," ujar lelaki asal Purwokerto ini. Mukidi tidak bertendensi melakukan kritik sosial atau politik. Sesuai namanya, Mukidi yang lugu dan ndeso hanya berceloteh tentang kehidupan sehari-hari.

Kadang-kadang, Soetantyo juga mengambil ide cerita dari situs internet ajokeaday.com. Situs itu menyajikan humor-humor dalam bahasa Inggris.

"Cuma kalau cerita-cerita dari sana itu kan tidak semuanya kalau diterjemahkan jadi lucu, kadang-kadang malah nggak ngerti orang. Jadi harus diolah sedemikian rupa," lanjutnya.

Mukidi sudah sempat menjadi buku. Ketika dia pensiun, kumpulan cerita Mukidi sudah banyak. Iseng-iseng, ia coba bukukan. Tapi, Soetantyo tidak mau repot-repot mencari penerbit. Ia edit, cetak, dan jual sendiri kepada teman-temannya. Judul bukunya, Laskar Pelawak sebanyak tiga jilid. Buku tersebut bersampul merah dengan desain sederhana.

Selain mengedarkan lelucon itu di ruang-ruang pelatihan, Soetantyo kemudian memasukkan tokoh Mukidi ke majalah kantor. Tatkala Mukidi lahir, masih banyak orang yang belum memegang telepon genggam. Facebook belum muncul, apalagi WhatsApp. Orang baru menggunakan telepon rumah atau fax.

Seiring perkembangan teknologi, Mukidi pun beralih media. "Teman saya membuatkan blog untuk saya supaya nanti kalau ada joke yang baru saya tinggal unggah ke situ," lanjut pensiunan Boehringer Ingelheim ini. Penasaran alamat blognya? Netizen bisa klik di ceritamukidi.wordpress.com.

Sejak 2007, Soetantyo juga memasukkan kisah Mukidi ke akun Facebook "Soetantyo Moechlas". Setiap hari rutin dia unggah dengan cerita-cerita yang berbeda. Sembari tergelak, Soetantyo mengaku akun Facebook-nya kebanjiran permintaan pertemanan sejak Mukidi viral. Tak kurang dari 3000 akun yang mengajukan permintaan pertemanan.

Lelaki yang hobi membaca dan membuat karikatur ini tak menyangka Mukidi bakal viral. Kini, ia jadi punya kesibukan baru meladeni awak media dan masyarakat yang penasaran dengan sosoknya. Dengan riang dia bertutur, orang-orang sampai ramai mengajak foto ketika dia datang pesta pernikahan.

"Enggak nyangka. Tapi saya senang juga. Oh berarti apa yang saya tulis ini ada yang baca," ungkapnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement