Selasa 09 Aug 2016 05:31 WIB

'Jokowi Bisa Tiru Langkah Presiden Filipina dalam Berantas Narkoba'

Todung Mulya Lubis
Foto: ROL/Fian Firatmaja
Todung Mulya Lubis

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengacara senior Todung Mulya Lubis menilai Presiden Joko Widodo bisa meniru langkah Presiden Filipina Rodrigo Duterte yang mengumumkan nama-nama pejabat negara terlibat dalam bisnis Narkoba.

"Presiden bisa melakukan hal yang sama asal sesuai dengan koridor hukum yang berlaku," ujarnya.

Todung menilai, langkah itu bisa diambil sebagai salah satu langkah untuk menyelesaikan permasalahan penyalahgunaan Narkoba yang memang sudah dinilai darurat oleh Presiden Jokowi. Namun, dia menyatakan tidak setuju dengan langkah "tembak di tempat" bagi para bandar Narkoba seperti yang dilakukan Duterte di Filipina.

Menurutnya penerapan hukuman seperti itu tidak layak karena sejatinya yang harus dibongkar adalah tindak kejahatannya dan bukan hanya penjahatnya.

"Kalau langsung dibunuh jika ditemukan indikasi bandar Narkoba, sama saja seperti zaman penembakan misterius (petrus) saat rezim Presiden Soeharto," ucap Todung.

Berdasarkan laporan Reuters, Presiden Filipina Rodrigo Duterte pada Minggu (7/8) mengumumkan 160 nama pejabat dan mantan pejabat, mulai dari Wali Kota, hakim hingga polisi yang diduga terlibat dalam perdagangan obat-obatan ilegal.

Dari daftar yang diungkap itu, juga terdapat dua jenderal polisi yang diduga menjadi pelindung para sindikat Narkoba. Sebelum mengungkapkan profil pejabat yang terlibat dalam bisnis haram, Duterte juga memerintahkan aparatnya untuk melakukan penembakan sampai mati kepada para bandar Narkoba yang memang dianggapnya sebagai "perusak bangsa".

Berdasarkan laporan Reuters, sudah ada 770--800 orang yang dibunuh polisi terkait hal tersebut sejak Duterte disumpah menjadi Presiden pada 30 Juni 2016. Duterte menyebut tindakannya tidak melanggar HAM karena menurut dia HAM seharusnya melindungi martabat bangsa dan tidak membiarkan para pelaku kejahatan menghancurkan Filipina.

Indonesia sendiri sedang bergulat dengan isu keterlibatan pejabat BNN, Polri dan TNI dalam bisnis peredaran narkoba setelah beredarnya tulisan Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Haris Azhar, berdasarkan hasil wawancara dengan terpidana mati Freddy Budiman, yang berjudul "Cerita Busuk dari Seorang Bandit: Kesaksian bertemu Freddy Budiman di Lapas Nusa Kambangan (2014)".

Pada tulisan yang telah menyebar luas melalui media sosial itu, Freddy mengaku memberikan uang ratusan miliar rupiah kepada penegak hukum di Indonesia untuk melancarkan bisnis haramnya di Tanah Air.

Karena tulisannya itu, Haris Azhar saat ini berstatus terlapor di Bareskrim Polri setelah tiga institusi negara yaitu BNN, Polri dan TNI mengadukannya dengan sangkaan melanggar Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement