Jumat 24 Jun 2016 20:45 WIB

Ini 5 Permasalahan Kebijakan Narkotika di Indonesia

Rep: Qommarria Rostanti/ Red: Ilham
Badan Narkotika Nasional (BNN)
Badan Narkotika Nasional (BNN)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pendekatan pemidanaan dalam mengatasi permasalahan narkoba dinilai lebih 'mematikan' bagi pengguna narkotika dibandingkan narkoba itu sendiri. Berdasarkan kajian yang dilakukan Persaudaraan Korban NAPZA Indonesia (PKNI) menunjukkan banyak pengguna narkotika yang sebelumnya memiliki pekerjaan baik harus kehilangan pekerjaan karena dipenjara.

Permasalahan penggunaan narkotika sejatinya merupakan permasalahan kesehatan, namun kebijakan narkotika di Indonesia yang diatur dalam UU No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika lebih mengarah pada pendekatan pemidanaan. "Jaminan pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi penyalahguna dan pecandu narkotika hanya menjadi isapan jempol semata," ujar koordinator PKNI Totok Yulianto, Jumat (24/6).

PKNI melihat terdapat beberapa permasalahan dalam kebijakan narkotika dalam UU Narkotika. Pertama, kebijakan narkotika tidak bisa memisahkan antara pengguna dan pelaku perdagangan gelap narkotika. Kesemuanya disatukan dengan konsep peredaran gelap narkotika yang diartikan sebagai orang yang melakukan tindak pidana yang ditentukan dalam UU Narkotika. Termasuk penyalahguna, orang tua yang tidak melapor anaknya memiliki kecanduan narkotika, aparat penegak hukum serta pejabat negara yang tidak melaksanakan kewajiban dalam UU Narkotika.

 

Kedua, kata Totok, UU Narkotika banyak memberikan aturan pidana yang bersifat elastis, tidak jelas dan selalu dipergunakan oleh oknum aparat penegak hukum untuk merekayasa dan memeras pengguna narkotika. Menurut Totok, umumnya seorang yang tekena kasus narkotika ditekankan pada barang bukti narkotika.

Penegak hukum tidak meilihat tujuan dari penguasaan, pemilikan atau penyimpanan narkotika tersebut apakah untuk digunakan, dijual, dikirim, dan lainnya. "Celah ini kemudian dipergunakan oleh oknun aparat penegak hukum untuk memeras dan mengeksploitasi pengguna dan kelurganya," ujarnya.  

 

Ketiga, UU Narkotika secara sengaja mengaburkan bahwa pengguna narkotika adalah korban permasalahan perdagangan gelap narkotika dan pendekatan perang terhadap narkoba. Konsepsi korban penyalahguna narkotika dalam UU Narkotika sebagai orang yang dipaksa menggunakan narkotika, merupakan konsep yang tidak jelas. Totok menyebut konsep seperti ini menimbulkan semakin hilangnya hak pengguna untuk mendapatkan jaminan rehabilitasi.

 

Keempat, rehabilitasi diartikan sebagai pengobatan dan bukan sebagai pemulihan. Kebijakan narkotika menekankan kepada bentuk-bentuk pengobatan untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan narkotika. Badan Dunia WHO menyatakan penyalahgunaan narkotika sebagai suatu kondisi cronical relapsing deseases sehingga upaya yang paling tepat adalah pemulihan.

 

Kelima, kebijakan narkotika saat ini tidak mau mengakui konsep pengurangan dampak buruk penggunaan narkotika (harm reduction. "Kampanye pemerintah yang menyatakan 50 orang mati karena narkotika, seharusnya menjadi bahan refleksi bagi pemerintah terkait pentingnya upaya pengurangan dampak buruk penggunaan narkotika," kata Totok.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement