Habibie juga menyebutkan, upaya Habibie ini mendorong desain pesawat yang lebih aman. Alasannya, sebelumnya problem soal crack ini cukup memusingkan para insinyur penerbangan.
Retakan yang terjadi biasanya berukuran mikro, lebih halus dari rambut manusia. Hanya saja, ketika retakan semakin lebar dan merambat semakin luas akibat siklus penerbangan pesawat, maka hal kecil ini bisa berakibat pada kecelakaan pesawat.
"Orang ketika merancang satu desain, dia bisa prediksi desain ini aman tidak terhadap crack. Memang pesawatnya anggaplah belum jadi, tapi kan saat mendesain lebih aman. Makanya berharga sekali pengetahuannya," kata Andi.
"Anda mesti lihat ada berapa artikel yang bilang bahwa sebelum tahun 1960-an jumlah pesawat terbang yang jatuh karena kegagalan sayap, berarti kan ada crack dan patah. Itu banyak, sehabis tahun 1960-an setelah Habibie crack, memang hampir enggak ada."
Guru Besar Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara (FTMD) Insitut Teknologi Bandung (ITB) Ichsan Setya Putra menyebutkan, temuan Habibie terus mengalami penyempurnaan hingga kini. Meski teori crack propagation yang ditemukan Habibie tidak secara kontinu digunakan dalam industri penerbangan masa kini, Ichsan menganggap ide itu mengilhami banyak penemuan berikutnya.
Ia menjelaskan, sejak perhitungan retakan ditemukan, produsen pesawat bisa memprediksi umur material sampai mengalami luasan rekahan yang berbahaya. "Nah, Pak Habibie prediksi umur sampai berapa flight lagi sih si pesawat ini bisa terbang karena ada retak tersebut. Pak Habibie bikin model prediksi umur perambatan retak pada struktur pesawat terbang. Waktu itu memang teori atau model waktu itu cukup baru," katanya.