Kamis 16 Jun 2016 14:03 WIB

DPD Minta Kemendagri Publikasikan Perda yang Dibatalkan

Rep: Eko Supriyadi/ Red: Ilham
Wakil Ketua Komite III DPD RI, Fahira Idris
Wakil Ketua Komite III DPD RI, Fahira Idris

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Polemik pembatalan 3.143 peraturan daerah (Perda) yang dianggap bermasalah oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) terus bergulir, terutama pembatalan Perda yang dianggap bernuansa intoleran. Agar kebijakan pembatalan ini tidak menjadi isu liar, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) meminta Kemendagri mempublikasikan Perda yang akan dibatalkan beserta alasan pembatalannya ke publik.

Wakil Ketua Komite III DPD Fahira Idris mengungkapkan, saat ini di masyarakat, isu soal pembatalan perda sedang hangat dibicarakan, terutama pembatalan perda yang dianggap intoleran. Selain itu, Fahira dibanjiri pertanyaan masyarakat, apakah perda yang melarang total miras seperti yang ada di Cirebon dan Papua juga dibatalkan. Untuk itu dirinya meminta Kemendagri mempublikasian perda yang dibatalkan.

“Jujur, saya tidak bisa menjawab (apakah perda pelarangan total miras dibatalkan) karena hingga hari ini saya kesulitan mendapatkan nama-nama perda yang dibatalkan,'' kata Fahira, di Jakarta, Kamis (16/6).

Harusnya, lanjut dia, tak lama setelah diumumkan presiden, Kemendagri lewat websitenya mempublikasikan daftar perda yang dibatalkan beserta penjelasan kenapa dibatalkan. Dan juga peraturan lebih tinggi yang mana yang dilanggar dalam perda tersebut.

''Sehingga jelas. Ini kan (daftar perda yang dibatalkan) sudah jadi informasi publik, dan sesuai UU KIP harus diumumkan. Kita minta Kemendagri jalankan perintah UU KIP,” ujarnya.

Menurut Fahira, dirinya mendukung kebijakan pemerintah mengevaluasi dan membatalkan jika perda bermasalah, menjadi penghambat pertumbuhan ekonomi daerah dan memperpanjang jalur birokrasi. Serta menghambat proses perizinan dan investasi, kemudahan berusaha, dan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Faktanya, lanjut Fahira, banyak perda yang bermasalah, terutama terkait proses perizinan dan penarikan retribusi yang memberatkan masyarakat. Idealnya, memang Pemerintah Pusat harus mengevaluasi.

Tetapi jika pembatalan itu kepada perda yang dianggap intoleran, seperti pelarangan total miras, pemerintah harus punya alasan kuat baik secara filosofis, yuridis, dan sosiologis. Termasuk kearifan lokal daerah tersebut.

“Sampai tahap ini saya masih yakin tidak ada perda yang melarang total miras dibatalkan. Karena memang, hemat saya, perda miras ini tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Saya sangat berharap, perda pelarangan total miras tidak ada dalam daftar 3.143 perda yang dibatalkan,” ucap legislator asal Jakarta ini.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement