Sabtu 11 Jun 2016 05:25 WIB

Saldi Isra: Kodifikasi UU Pemilu Perlu Dilakukan

Guru besar Fakultas Hukum Universitas Andalas, Saldi Isra. (Republika/Rakhmawaty La'lang)
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Guru besar Fakultas Hukum Universitas Andalas, Saldi Isra. (Republika/Rakhmawaty La'lang)

REPUBLIKA.CO.ID, PADANG -- Profesor Hukum Tata Negara Saldi Isra, menyebutkan pembukuan (kodifikasi) undang-undang Pemilihan Umum (Pemilu) perlu dilakukan untuk memperbaiki pelaksanaan pemilu di Indonesia.

"Kodifikasi undang-undang pemilu perlu dilakukan untuk mewujudkan sebuah aturan yang tersusun secara logis, serasi, dan pasti," kata Saldi Isra, dalam konsultasi publik yang digelar Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas, bersama Sekretariat Bersama Kodifikasi Undang-undang Pemilu, di Padang, Jumat (10/6).

Ia menjelaskan, pemilihan umum pascaperubahan Undang Undang Dasar (UUD) 1945 mengalami perkembangan yang amat pesat. Ditandai dengan tingginya tingkat kebutuhan terhadap aturan pemilu, dan banyaknya jenis pemilu yang harus diselenggaran dalam suatu periode pemerintahan.

"Hanya saja perkembangan tersebut juga membawa dampak terhadap munculnya kompleksitas. Beberapa di antaranya adalah ketidakharmonisan, ketidakpastian aturan, ketegangan antarinstitusi yang terlibat dalam penyelenggaran, ketidakpastian proses penegakan hukum, dan penyelesaian sengketa pemilu," jelasnya.

Menurutnya jika menyerdahanakan, inti persoalan tersebut terdapat pada aturan terkait pemilu. Baik yang berkenaan dengan penyelenggaraan, maupun yang berhubungan dengan institusi penyelenggara.

Ia membeberkan, saat ini untuk pemilu dan pilkada terdapat empat undang-undang yang berlaku secara bersamaan. Yaitu Undang-undang Nomor 8 tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD, Undang-undang Nomo 42 tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, Undang-undang Nomor 8 tahun 2015 tentang Pemilhan Gubernur, Bupati dan Walikota, serta Undang-undang Nomor 15 tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pemilu.

"Dari tiga undang-undang tersebut tahapan-tahapan penyelenggaraan tidaklah serasi satu sama lain. Namun institusi penyelenggara pemilu yang melaksanakannya tetap sama, yaitu yang diatur Undang-undang Nomor 15 tahun 2011," katanya.

Akibatnya, penyelenggara pemilu akhirnya dihadapkan pada dilema pelaksanaan kewenangan dari satu pemilu, ke pemilu lainnya. Selain itu ketidak harmonisan peraturan dinilai juga terjadi dari tiga undang-undang yang mengatur pemilu tersebut.

Ia menerangkan salah satu ketidak harmonisan itu dilihat dari pengujian yang dilakukan terhadap Undang-undang Nomor 42 tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement