Kamis 02 Jun 2016 18:59 WIB

Rasionalisasi PNS Jangan Sampai Beri Dampak Negatif Pelayanan Publik

Rep: Wilda Fizriyani/ Red: Achmad Syalaby
Ilustrasi Pegawai Negeri Sipil (PNS)
Foto: setkab.go.id
Ilustrasi Pegawai Negeri Sipil (PNS)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pengamat Pelayanan Publik dari Universitas Islam Indonesia (UII), Budi Santoso, menyatakan, kesepakatannya atas rencana rasionalisasi satu juta Pegawai Negeri Sipil (PNS). Hal ini karena fakta di lapangan menyebutkan anggaran APBN untuk belanja biaya gaji PNS sangat besar.

“Itu sudah sangat membebani anggaran negara dan tidak sebanding dengan produktivitas yang dihasilkan PNS,” ujar Budi kepada Republika.co.id, Kamis (2/6).Budi menyarankan, rasionalisasi sebaiknya tidak menimbulkan resistensi. Kemudian memunculkan dampak negatif dalam pelayanan publik yang diselenggarakan oleh PNS. 

Karena itu, dia meminta adanya studi kelayakan dan analisis struktur birokrasi yang komprehensif. Dengan demikian, jumlah PNS akan sesuai dengan kebutuhan pemerintah untuk menggerakkan  birokrasi Indonesia secara optimal. 

Di samping itu, dia juga berharap dampak sosial dari rasionalisasi ini bisa diminimalisasi nantinya. Oleh sebab itu, kata dia, harus dipertimbangkan semacam uang kehormatan bagi mereka yang terkena dampak rasionalisasi. Tujuannya, agar mereka tetap bisa melanjutkan kehidupan mereka secara layak dan memadai. 

Sebelumnya, pemerintah berencana merampingkan kementerian dan lembaga yang dinilai memiliki fungsi dan wewenang yang tumpang tindih. Menurut Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan RB) Yuddy Chrisnandi, pemerintah akan merasionalisasi 1 juta PNS yang dinilai kurang produktif dan kompeten.

Pemerintah sebelumnya menyatakan akan merasionalisasi satu juta PNS. Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemen-PANRB) menyatakan, hanya Pegawai Negeri Sipil (PNS) dengan jabatan fungsional umum yang akan dipensiunkan. Terlebih lagi pada pegawai yang kinerja dan kompetensinya buruk.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement