REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan komisioner Komisi Yudisial (KY) Busyro Muqoddas mengungkapkan, pihaknya pernah melakukan analisis untuk meneliti putusan-putusan hakim yang banyak dipengaruhi mafia peradilan. Analisis itu ia lakukan pada masa kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Hal itu untuk merespons praktik mafia peradilan. Ia kemudian mengusulkan agar pemerintah menertibkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) tentang seleksi ulang hakim agung.
"Ketika itu kami diterima Presiden (SBY), ada dialog yang cukup intens tentang dialog mafia peradilan ini. Kemudian, beliau simpulkan ini memang harus segera diatasi," katanya kepada Republika.co.id, Jumat (27/5).
Mantan ketua KPK itu mengatakan, terlebih setelah Presiden SBY kala itu melakukan perjalanan di 12 negara asing, banyak negara yang mencabut investasinya karena kepastian hukum di Indonesia dirasa tidak terjamin. Artinya, Presiden SBY sendiri merasakan bahwa mafia peradilan itu berdampak pada aspek ekonomi karena investasi berkaitan dengan perkembangan ekonomi makro.
"Saat itu Presiden (SBY) menyetujui usulan KY lalu memerintahkan mensesneg saat itu, silahkan men-drive usulan KY tentang seleksi ulang (hakim agung)," jelasnya.
Namun, beberapa hari kemudian ada pernyataan dari mensesneg bahwa yang dimaksud Presiden SBY bukan menyetujui perppu usulan KY untuk seleksi ulang hakim agung. "Kalaulah dulu Presiden SBY itu tegas, yakin bahwa tidak akan terjadi praktik mafia peradilan yang sekarang sudah menjadi gunung es yang begitu besar," ujarnya.
Selain itu, ia menambahkan, hakim agung yang gerah kala itu mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi untuk menguji Undang-Undang tentang KY. Sayang sekali, putusan MK waktu itu mengabulkan permohonan judicial review dari hakim agung yang menyatakan KY tidak bisa mengawasi MA.
Dalam putusan itu dinyatakan juga, MK tidak bisa diawasi oleh KY. "Atas dasar dua poin tadi, wajar sekali jika MA sekarang mangalami situasi yang paling terpuruk dalam 30 tahun terakhir ini," ujarnya.