REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Komunitas nelayan tradisional mengaku optimistis bakal memenangkan gugatan terkait proyek reklamasi Pulau G yang mereka ajukan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Mereka masih menunggu agenda pembacaan putusan dari pengadilan yang rencananya akan digelar pada akhir bulan ini.
“Pekan lalu kami sudah menyerahkan kesimpulan (perkara reklamasi Pulau G) ke PTUN Jakarta. Insya Allah putusan akan dibacakan oleh majelis hakim pada 31 Mei ini,” ujar Ketua Bidang Hukum DPP Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), Marthin Hadiwinata, kepada Republika.co.id, Selasa (17/5).
(Baca: Nelayan Geruduk PTUN Jakarta Tolak Reklamasi).
Menurut dia, ada beberapa poin yang membuat nelayan merasa optimistis memenangkan gugatan tersebut. Pertama, izin pelaksanaan reklamasi Pulau G yang diterbitkan Gubernur Basuki T Purnama (Ahok) kepada PT Muara Wisesa Samudra (anak perusahaan Agung Podomoro Group) di Teluk Jakarta begitu sarat dengan pelanggaran.
Pelanggaran tersebut terutama bisa dilihat dari tidak adanya Peraturan Daerah tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP-3K) yang semestinya menjadi dasar pijakan gubernur dalam menerbitkan izin reklamasi. Padahal, kata Marthin, keberadaan perda itu adalah perintah dari UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Di samping itu, surat keputusan (SK) kelayakan, izin lingkungan, dan dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) tidak pernah sekalipun diumumkan Pemprov DKI Jakarta kepada masyarakat luas. Padahal, undang-undang telah menegaskan bahwa pemerintah daerah berkewajiban menyebarluaskan dokumen-dokumen tersebut untuk mendapatkan masukan, tanggapan, dan saran perbaikan dari masyarakat.
“Adanya kebijakan moratorium dari pemerintah pusat beberapa waktu lalu sebenarnya sudah menunjukkan bahwa proyek reklamasi Teluk Jakarta itu memang bermasalah dan banyak pelanggarannya sejak awal,” ucap Marthin.
Selanjutnya, kata dia, nelayan juga yakin memenangkan gugatan di PTUN Jakarta karena saksi ahli yang dihadirkan pihak termohon dalam persidangan ternyata tidak independen. Menurut catatan KNTI, pakar tata kota dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Hesti Nawangsidi—yang diundang sebagai saksi ahli di persidangan oleh pengembang—pernah menjadi penyusun amdal untuk PT Muara Wisesa Samudra.
“Hesti juga memiliki konflik kepentingan dalam kasus ini karena pernah menjadi konsultan dalam penyusunan dua Raperda Reklamasi Teluk Jakarta. Fakta-fakta tersebut sudah kami beri tahu kepada majelis hakim di PTUN sebelumnya,” ungkap Marthin.