REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Anti Hukuman Mati mendatangi Kantor Staf Kepresidenan (KSP) yang berada di Kompleks Istana Jakarta, Senin (16/5). Mereka datang untuk mendesak pemerintah menghentikan rencana eksekusi mati gelombang tiga.
Direktur Imparsial Al Araf menilai, eksekusi mati tak layak dilakukan karena sistem peradilan di Indonesia masih karut-marut. Praktek mafia peradilan dan rekayasa kasus masih terjadi. Oleh karena itu, dia memandang, eksekusi mati menjadi sangat riskan dilakukan.
"Akan sulit untuk dikoreksi jika suatu saat nanti ternyata eksekusi itu diterapkan pada orang yang salah. Sementara hukuman mati kalau sudah dieksekusi tidak bisa dikoreksi," ujar Araf, usai diterima staf KSP Ifdhal Kasim.
(Baca juga: Kejakgung: Eksekusi Mati Tahap III Sudah Penuhi Syarat)
Menurutnya, proses unfrail trial juga terjadi dalam peradilan kasus narkoba yang terpidananya divonis mati. Contohnya, seperti kasus terpidana mati asal Filipina, Mary Jane, dan terpidana mati asal Pakistan Zulfikar Ali.
Selain itu, Araf juga menyebut bahwa hukuman mati tahap I dan II yang telah dilakukan sebelumnya terbukti tidak berhasil menurunkan angka kejahatan narkoba. Hal ini, kata dia, menunjukan bahwa eksekusi mati tidak efektif dalam menimbulkan efek jera.
Oleh sebab itu, Koalisi Anti Hukuman Mati mendesak pemerintah menghentikan rencana hukuman mati dan menggantinya menjadi hukuman seumur hidup. Apalagi, kata dia, saat ini pemerintah dan DPR sedang membahas revisi Undang-Undang KUHP yang salah satu isunya menggeser pidana mati menjadi pidana pokok.
"Tidak pantas di tengah proses pembahasn KUHP yang menjadi payung hukum pokok dalam pidana mati, lalu pemerintah melakukan rencana eksekusi," tutup dia.
Koalisi Masyarakat Sipil Anti Hukuman Mati sendiri terdiri dari sejumlah LSM, antara lain Imparsial, Kontras, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat, Migrant Care dan Persaudaraan Korban Napza Indonesia (PKNI).