REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Pemerintah diminta mulai memikirkan cara baru untuk menangani pasien kanker di Indonesia. Jumlah pasien kanker yang semakin banyak tidak semua pengobatannya terjamin oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
Karena itu, pasien kanker masih harus mengeluarkan biaya lebih untuk pengobatan yang tidak tersedia tersebut. Data Riset Kesehatan Dasar 2013 menunjukan prevalansi kanker di Indonesia 1,4 persen dengan jumlah 347.792 kasus kanker. Sedangkan BPJS Kesehatan pada 2014 telah mengeluarkan Rp 2,05 triliun untuk pembiayaan kanker dengan lebih dari 894 ribu kasus.
"Kenyataannya lebih dari 20 persen pengeluaran BPJS untuk pasien kanker, tetapi beban ekonomi yang dihadapi oleh masyarakat masih sangat besar," kata anggota Komisi IX DPR RI Roberth Rouw, baru-baru ini.
Berdasarkan Data ASEAN Cost In Oncology (ACTION) yang didapat dari penelitian terhadap 2.355 pasien kanker baru yang dilakukan selama setahun setelah pasien terdiagnosis, menunjukan hasil yang menyedihkan. Hanya 29 persen pasien yang masih bisa diobservasi dan 71 persen meninggal setelah satu tahun pengamatan. Survei tersebut dilakukan di sepuluh rumah sakit umum di delapan kota besar.
Hasil studi ACTION juga menunjukan 46 persen pasien kesulitan keuangan setahun pertama setelah terdiagnosis kanker. Sebanyak 58 persen pasien meminjam uang dari keluarga, 25,2 persen memakai tabungan, 12,3 persen meminjam uang secara pribadi dan 14,4 persen menjual harta pribadi. Kanker adalah penyakit dengan beban ekonomi ketiga setelah sakit jantung dan gagal ginjal.
Politikus Partai Gerindra itu menyebut besarnya biaya yang dikeluarkan baik lewat Jaminan Kesehatan Nasional ataupun oleh masyarakat ternyata hanya menguntungkan produsen asing. Data Kemenkes menunjukan hanya 94 persen alat kesehatan dan 95 persen obat masih bergantung dari impor.