REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kadivhumas Polri Irjen Pol Anton Charliyan mengatakan kepolisian dan Pimpinan Pusat Muhammadiyah harus berkoordinasi untuk menghindari kemungkinan adanya pihak yang memanfaatkan isu kematian terduga teroris Siyono untuk memancing timbulnya konflik antara kepolisian dan Muhammadiyah.
"Ada upaya-upaya yang ingin mengadu domba antara Polri khususnya Densus 88 dengan Muhammadiyah. Ini kita harus sama-sama merapatkan barisan," kata Anton Charliyan, Kamis (7/4).
Ia mengaku telah mengendus adanya upaya provokasi yang seolah melabeli Muhammadiyah pro-teroris karena mengadvokasi istri almarhum Siyono, Suratmi, dalam mencari keadilan atas kematian suaminya. Anton menegaskan bahwa meski Muhammadiyah memberikan advokasi dalam kasus Siyono, tidak serta merta Muhammadiyah memberikan dukungan terhadap aksi-aksi terorisme.
"Saya tidak pernah menuduh Muhammadiyah pro teroris. Apalagi saya tahu Muhammadiyah itu kumpulan besar umat Islam, yang bersama Nahdlatul Ulama (NU) membangun negara Republik Indonesia. Kita bersama-sama memerangi terorisme," katanya.
Terduga teroris Siyono (34), warga Dukuh, Desa Pogung, Kabupaten Klaten setelah ditangkap oleh Densus 88 Mabes Polri meninggal dunia di Jakarta, Jumat (11/3). Pihak keluarga, terutama istri Siyono, Suratmi, meminta keadilan terkait dengan meninggalnya suaminya.
Komnas HAM yang dikoodinator oleh Siane Indriani melakukan investigasi atas meninggalnya Siyono dan kemudian meminta bantuan PP Muhammadiyah untuk melakukan otopsi. Jasad Siyono akhirnya diotopsi oleh tim dokter forensik Muhammadiyah di tempat pemakaman Dukuh Brengkungan, Desa Pogung, Cawas, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, Minggu (3/4).
Tim dokter forensik dari Muhammadiyah yang mengotopsi jasad Siyono sebanyak sembilan orang. Mereka dipimpin Prof Dr dr Sudibdyo. Di antara tim tersebut, terdapat seorang saksi dari Polda Jateng.