Senin 04 Apr 2016 18:03 WIB

Nelayan Muara Angke Mengaku 'Tercekik' Kebijakan Ahok

Rep: Ahmad Islamy Jamil/ Red: Teguh Firmansyah
Sejumlah nelayan Muara Angke berunjuk rasa di depan gedung DPRD Jakarta, Kebon Sirih, Jakarta, Selasa (1/3).
Foto: Antara/Teresia May
Sejumlah nelayan Muara Angke berunjuk rasa di depan gedung DPRD Jakarta, Kebon Sirih, Jakarta, Selasa (1/3).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Masyarakat nelayan Muara Angke merasa kian 'tercekik.' Sebab, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta menaikkan retribusi lahan Pengolahan Hasil Perikanan Tradisional (PHPT) di kawasan itu.

Salah satu nelayan Muara Angke, Yudianto (43 tahun) menuturkan, selama ini para nelayan pengolah ikan di daerah itu hanya perlu mengeluarkan uang Rp 75 ribu untuk membayar retribusi satu unit lahan PHPT setiap bulannya. Sekarang, biaya retribusi itu dinaikkan menjadi Rp 100 ribu per meter persegi per bulan.

"Bayangkan, jika satu unit luasnya 125 meter persegi, berarti kami harus membayar Rp 12,5 juta per bulan. Ini jelas memberatkan kami," ujar Yudianto kepada Republika.co.id, Senin (4/4).

Ia menuturkan, kenaikan retribusi lahan PHPT itu diatur dalam Peraturan Daerah (Perda) Provinsi DKI Jakarta Nomor 1 Tahun 2015 tentang Retribusi Daerah. Sayangnya, dalam merumuskan perda tersebut, DPRD dan Pemprov DKI Jakarta tidak pernah melibatkan partisipasi para nelayan.

"Tidak ada dialog, tidak ada musyawarah, juga tidak ada sosialisasi. Tiba-tiba petugas Pemda DKI dari UP3 (Unit Pengelolaan Pelabuhan Perikanan) Muara Angke pada akhir Maret lalu memberi tahu kami terbitnya perda baru itu," tutur Yudianto.

Nelayan Muara Angke lainnya, H Sohari (53) mengungkapkan, kenaikan retribusi tersebut membuat para nelayan kian sengsara. Sebab, kewajiban retribusi itu benar-benar tidak sebanding dengan pendapatan nelayan. Setiap bulannya, rata-rata pendapatan Sohari dari pengolahan ikan hanya berkisar Rp 3 juta hingga Rp 10 juta.

"Sementara, kini kami dituntut membayar retribusi Rp 12 juta hingga Rp 15 juta per unit. Kemana lagi kami harus mencari uang buat nombok?" ujar pria paruh baya itu.

Baca juga, Ahok Siap Dipanggil KPK.

Sohari menduga, penerbitan Perda No 1/2015 bisa saja menjadi cara halus Pemprov DKI Jakarta untuk menyingkirkan para nelayan dari Muara Angke. Kecurigaannya itu bukan tanpa alasan.

Beberapa tahun belakangan ini, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok gencar memberi izin kepada sejumlah perusahaan pengembang properti untuk menjalankan proyek di kawasan tersebut.

"Lama-lama wajah Muara Angke bakal berubah menjadi kawasan yang diisi bangunan-bangunan mewah dan supermegah. Kami yang sudah berpuluh-puluh tahun mencari nafkah di sini pun akhirnya diusir dengan cara halus, salah satunya lewat penerbitan regulasi yang mencekik kami," kata Sohari.

Warga RW 11 Muara Angke, M Ramli (37) mengatakan, para nelayan olah di kawasan itu menolak kehadiran Perda No 1/2015. Mereka menilai aturan tersebut sebagai upaya perampasan hak-hak mereka oleh pemerintah. "Kenaikan retribusi itu jelas-jelas bentuk nyata kezaliman Pemprov DKI terhadap nelayan," katanya seraya mengecam.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement