REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Front Transportasi Jakarta mendesak Kementerian Komunikasi dan Informatika memblokir aplikasi Uber dan GrabCar, karena dinilai telah melanggar Undang-Undang No 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya serta Keputusan Menteri No 35/2003 tentang Penyelenggaraan Angkutan.
Ketua Umum Front Transportasi Jakarta Harianto Tambunan menegaskan, kedua aplikasi tersebut telah melakukan pelanggaran UU karena melaksanakan angkutan jalan raya, namun dengan kendaraan umum yang tidak sesuai dengan aturan.
Ia mengatakan, sesuai dengan Keputusan Menteri Pasal 1 ayat 13, angkutan taksi adalah angkutan dengan menggunakan mobil penumpang umum yang diberi tanda khusus dan dilengkapi dengan argometer yang melayani angkutan dari pintu ke pintu dalam wilayah operasi terbatas.
Sementara Uber dan GrabCar tidak seperti yang diatur dalam regulasi tersebut. Akibatnya, banyak kendaraan umum pribadi yang digunakan untuk melayani angkutan layaknya taksi. Apalagi Uber dan Grab begitu mudah untuk menggaet para pemilik mobil pribadi.
Hal ini menurut dia, telah membuat banyak pengemudi di sektor transportasi yang resmi dan membayar pajak, trayek, kepada pemerintah telah kehilangan pelanggan.
"Akibatnya, banyak pengemudi taksi resmi, angkot, pengemudi bus kota dan sebagainya pendapatannya menurun drastis, sementara Uber dan Grab yang tidak membayar sepeserpun pajak untuk negara, tidak berbadan hukum di Indonesia menikmati pendapatan," katanya, Kamis (10/3).
Ia mengatakan, pihaknya akan terus melakukan aksi demo menuntut agar regulasi ditegakkan demi keadilan. Sementara itu, Front Tranportasi Jakarta telah menggelar aksi demonya yang keempat kalinya.
Kali ini, Front Transportasi Jakarta juga menyambangi Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk menyampaikan tuntutan pemblokiran aplikasi Uber dan Grab. Menurutnya, saat ini Front Tranportasi Jakarta telah beranggotakan sekitar 560 orang dan terus bertambah.
Front telah beraudiensi dengan DPR dan akan terus menuntut pada pemerintah dan pihak terkait.