Kamis 24 Mar 2016 07:50 WIB

Pengamat: Konflik Utama Taksi Konvensional dan Online adalah Tarif

Rep: C21/ Red: Bayu Hermawan
Ribuan sopir taksi melakukan aksi di depan DPR, Jakarta, Selasa (22/3).
Foto: Republika/ Yasin Habibi
Ribuan sopir taksi melakukan aksi di depan DPR, Jakarta, Selasa (22/3).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat transportasi Djoko Setijiwarno menilai permasalahan utama konflik antara taksi konvensional dengan taksi 'online', dipicu persoalan tarif dan bukan aplikasi yang digunakan oleh taksi berplat hitam itu.

"Taxi konvensional didorong untuk membuat aplikasi, namun tetap tarif harus dari pemerintah," katanya.

Djoko mengatakan selama ini, tarif Grab Car dan Uber tidak ditentukan, sehingga tarifnya bisa murah. Ia melanjutkan, meski taksi konvensional menggunakan aplikasi online, namun tetap saja akan ada perbedaan tarif.

Selain ditentukan pemerintah, perbedaan tarif antara konvensional dan online juga dikarenakan taksi konvensional harus menanggung biaya poll taksi, kemudian biaya KIR setiap enam bulan, asuransi penumpang, serta karyawan selain sopir.

"Investasi poll berapa, diberi lahan, tenaga juga dan bukan hanya membayar sopir," ujarnya.

Hal tersebut tidak terjadi di taksi berbasis aplikasi online. Menurutnya taksi berbasis aplikasi online tidak memakai KIR, Asuransi Penumpang, tidak memiliki Poll. Jadi, kata Djoko bagaimana mereka memperbaiki kendaraannya. Sedangkan untuk pengemudi juga harus memiliki kualisifikasi dan tidak boleh sembarangan dalam persyaratannya.

"Sim harus ada A umum, dia harus bekerja minimal delapan hari. Namun kalau di taxi dibuat satu hari kerja, satu hari tidak. Jadi bukan karena aplikasi, namun kesenjangan tarif," jelasnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement