Senin 22 Feb 2016 00:29 WIB

Presiden Diminta Pertimbangkan Suara Guru Besar Soal Revisi UU KPK

Rep: Rahmat Fajar/ Red: Ilham
Stop Revisi RUU KPK. Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi menggelar aksi unjuk rasa untuk menghentikan revisi RUU KPK di depan Komplek Parlemen DPR RI, Jakarta, Rabu (17/2).  (Republika/Wihdan)
Foto: Republika/ Wihdan
Stop Revisi RUU KPK. Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi menggelar aksi unjuk rasa untuk menghentikan revisi RUU KPK di depan Komplek Parlemen DPR RI, Jakarta, Rabu (17/2). (Republika/Wihdan)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW), Tama Satrya Langkun mengharapkan Presiden Joko Widodo mempertimbangkan penolakan sejumlah guru besar terhadap revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK).

Seperti diketahui, beberapa hari lalu, sejumlah guru besar menggelar aksi teatrikal di gedung KPK. Mereka memberikan pena raksasa yang berarti penolakan.

"Kalau guru besar mengasih pertimbangan dia melihatnya secara akademis," kata Tama, di sela aksi tolak revisi UU KPK di Bundaran HI, Ahad (21/2). (DPR Dinilai Lebih Baik Revisi KUHP dan KUHAP).

Menurut Tama, pertimbangan dari guru besar memiliki kepentingan jauh lebih rendah. Hal itu berbeda jika pertimbangan datang dari DPR.

Citra presiden akan buruk apabila UU KPK jadi direvisi. Sebab, sudah jelas draft UU KPK melemahkan KPK.

Tama mencontohkan, dalam kaitannya dengan fungsi penyadapan. Sedangkan penyadapan ditentukan oleh dewan pengawas yang rentan mendapatkan intervensi karena dipilih oleh presiden.

Tama juga mempertanyakan alasan hanya penyadakan di KPK yang direvisi. Padahal, fungsi penyadapan juga ada di lembaga lain seperti Kepolisian, Kejaksaan, dan BNN.

Disamping itu, Tama juga menilai tidak mendesak KPK memiliki kewenangan SP3. "Jadi saya anggap revisi ini salah alamat," Tama menegaskan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement