REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam rapat Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Rabu (10/2) kemarin, sembilan Fraksi menyatakan setuju untuk melanjutkan pembahasan revisi UU No.30 Tahun 2002 tentang KPK. Salah satunya adalah Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Namun, anggota Fraksi PPP, Arsul Sani, menegaskan, pihaknya sebenarnya belum sepenuhnya setuju terhadap revisi UU KPK tersebut. Menurutnya, Fraksi PPP setuju jika draft revisi UU KPK, yang diusulkan DPR, itu dibahas dan didiskusikan terlebih dahulu.
''Jadi bukan setuju atas draft dari pengusul, tapi setuju dibahas dalam tahap tingkat pertama. Nanti berdebat lagi di sana. Makanya, kemarin saya katakan tidak keberatan untuk dibahas, bukan setuju,'' ujar Arsul kepada wartawan di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (11/2).
Lebih lanjut, anggota Komisi III DPR RI itu menjelaskan, memang ada beberapa ganjalan terkait empat poin yang dicantumkan dalam revisi UU KPK, terutama dalam semangat memperkuat KPK. Salah satunya ada larangan bagi KPK untuk mengangkat penyidik independen.
''Kalau hanya berbasis Polisi dan PNS saja tidak bisa dibilang soal penguatan,'' tuturnya.
Pun dengan adanya keharusan bagi KPK untuk meminta izin kepada Dewan Pengawas sebelum melakukan penyadapan. Menurut Arsul, fungsi Dewan Pengawas lebih kepada pengawasan kode etik dari KPK sendiri. Dia memberi contoh, seperti fungsi DKPP terhadap Bawaslu dan KPU.
''Dewan pengawas tidak boleh intervensi. Mereka kan menerima kalau ada pelanggaran kode etik. Nah ini ada pemberian izin soal penyadapan, dia tidak boleh seperti itu. Dia baru bisa kalau ada laporan pelanggaran etik (oleh KPK),'' tuturnya.