Kamis 07 Jan 2016 15:01 WIB

Pendiri Asosiasi HAM Kritik Praperadilan Lino

Direktur Utama Pelindo II, RJ Lino usai menjalani Bareskrim Mabes Polri, Jakarta, Senin (9/11). (Republika/Agung Supriyanto)
Direktur Utama Pelindo II, RJ Lino usai menjalani Bareskrim Mabes Polri, Jakarta, Senin (9/11). (Republika/Agung Supriyanto)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan direktur utama Pelindo II RJ Lino melakukan upaya praperadilan dalam kasus pengadaan alat bongkar muat pelabuhan atau quay crane. Pendiri Asosiasi Penasihat Hukum dan Hak Asasi Manusia (APHI)‎ Niko Adria menilai, langkah Lino menjadi contoh buruk pejabat BUMN di Indonesia.

"Sesungguhnya upaya Lino yang kini telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus tersebut merupakan usaha dalam menghambat pemberantasan korupsi di Indonesia," ujarnya dalam siaran ‎ di Jakarta, Kamis (7/1).

‎‎

Dia mengingatkan, kembali bagaimana awalnya Bareskrim Polri telah menggeledah kantor Pelindo II pada 28 Agustus 2015. Komjen Budi Waseso yang menjabat kepala Bareskrim saat itu sangat yakin telah mengumpulkan bukti-bukti yang cukup kuat untuk menjerat Lino dalam kasus korupsi.

 Niko mengatakan dalam pengantar laporan audit investigatif BPKP tertanggal 1 April 2011, perihal penyimpangan pengadaan tiga quay crane Pelindo II pada tahun 2010 didapatkan beberapa hasil. Di antaranya terdapat dua kali perubahan SK Direksi tentang ketentuan pengadaan barang atau jasa di Pelindo II sehingga pihak asing dapat dengan midah mengikuti tender.

Dia melanjutkan, terdapat perbedaan hasil kajian masing-masing cabang pelabuhan Panjang, Palembang dan Pontianak dengan Kajian Direktorat Operasional  dan Pengembangan Usaha Pelindo II berdasarkan nota dinas 19 Maret 2010.

"Proses pengadaan pemilihan langsung (12 Februari 2010) dan dilanjutkan dengan penunjukkan langsung vendor HDHM (7 April 2010) tidak sesuai dengan tata cara pengadaan pasal 27 ayat (3)," ujarnya. "Disposisi Dirut Pelindo II (12 Maret 2010) yang menyatakan go for twin lift dan nota dinas 25 Maret 2010 yang memberikan catatan khusus 'selesaikan penunjukkan HDHM'."

Atas penyimpangan tersebut, kata dia, negara diindikasian mengalami kerugian mencapai Rp 60 milar.  "Jadi jelas bahwa upaya praperadilan Lino bukanlah dalam rangka pemulihan nama baik. Tidak ada alasan hakim untuk meloloskan praperadilan Lino," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement